Buat Kukuh

Senin, Agustus 01, 2016 0 Comments A+ a-

Buat Kukuh
(Semacam tanggapan mungil atas Untuk Asra)

Tahu bulat sedang terkenal. Di facebook, di seloroh antara percakapan mahasiswa di kampus diselang diskusi filsafat, hidup, mati, seks, dan cinta dan hal-hal esensial di dalam ketiganya : uang. Bahkan kudengar berita dari beberapa kawan, tahu bulat sudah ada juga di Jakarta, di Jogjakarta pun. Tahu bulat sudah menjamur (dengan asumsi tahu bulat berasal dari Bandung, dengan alasan langgam Sunda penyanyinya) mengalahkan jamur krispi di musim hujan.
Aku mengenal tahu bulat ini beberapa tahun yang lalu. Di saat masih euforia diterima di ITB. Kampus yang katanya terbaik. Jujur saja, waktu SMA itu, aku membayangkan, ketika nanti sudah lulus dari ITB, aku akan bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji 60 juta sebulan.

Waktu itu penjual tahu bulat tersebut ada di jalan Tamansari, cuma dua hari, setelah itu dia pindah ke Jalan Badak Singa, di depan tempat bimbel dan SMA itu (Aku harap mereka yang bimbel disana tidak mengulangi bayanganku ketika SMA : Mau masuk ke ITB dengan harapan gaji setelah lulus adalah 60 juta per bulan). Beberapa tahun kemudian, setelah terseok-seok dengan perkuliahan, tanpa sengaja aku mendengar bebunyian tahu bulat itu di bawah fly over pasupati dekat Balubur Town Square. Pertama mendengar aku merasa lucu, masak jualan tahu pakai musik ? Bukan musik juga sebenarnya, akan tetapi semacam lagu. Seorang pemuda (aku menerka) sedang menjajakan tahu : tahu bulet di goreng, di mobil, di.... dst. Dan ini rekaman yang terus diulang-ulang (mungkin secara otomatis).

Aku tidak ingin menjelaskan teori-teori ekonomi, psikologi, manajemen pemasaran atau apapun dalam hal ini (sebab tak tahu). Tahu bulat sudah berhasil melaju di deras arus kehidupan yang serba bersaing ini (meskipun persaingan itu semu, sebab kata seorang kawan, borjuis korporat sudah berselingkuh dengan negara).

Tahu itu mungkin adalah etre en soi. Ada dalam dirinya. Tetapi setelah mendengarkan beberapa hari yang lalu, semacam Talkshow tentang revolusi mental di kampus Universitas Katolik Parahyangan, menghadirkan narasumber yang asik dan kompeten, ada yang menarik dari tahu yang lain. Sebut saja Romo Magnis, Sujiwo Tejo, dan Pidi Baiq. Meskipun menurut seorang kawan, sebut saja namanya Haris, ketiga orang ini tidak cocok sepanggung dikareanakan akan menjadi aneh. Tetapi menurutku justru unik.

Kawan itu bisa mengumpamakan dengan makanan dan minuman. Romo Magnis sebagai kopi, Sujiwo Tejo sebagai mie goreng, dan Pidi Baiq sebagai jus strawberi. Jangan tanya aku apa alasan dan korelasinya, sebab begitulah katanya. Dengan demikian jika merujuk kepada persoalan makanan tersebut, aku tidak setuju atau tidak akan memakan ketiga jenis makanan dan minuman itu dalam suatu kesempatan. Akan tetapi justru, pada dasarnya aku tak setuju dengan analogi tersebut. Aku menghadiri talkshow.

Romo Magnis kalau boleh kusimpulkan menyampaikan bahwa manusia mesti bertanya sekaligus bebas bertanya, dalam hal ini juga serentak bebas mempercayai apa yang ingin dipercaya, tanpa melukai. Tidak boleh ada golongan atau kuasa tertentu yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kita pertanyakan dan percayai, apalagi sampai melukai. Kita mesti cari sendiri apa yang kita yakini.

Sujiwo tejo bilang bahwa barangkali masa depan itu ada di belakang. Nenek moyang kita adakalanya sudah menemukan kebijaksanaan dan kearifan di masa lampau, yang mesti kita teladani dan kita gali kembali untuk kehidupan mendatang. Dia menjelaskan beberapa contoh seperti keseimbangan dalam  ekosistem saat upacara menanam padi (yang disertai pembakaran kemenyan). Mari kemudian mempelajari hal-hal yang tampak kecil dengan lebih intens dan menggunakannya dalam kesempatan yang tampak besar.

Kemudian terakhir dari Pidi Baiq, seniman semaunya ini melontarkan kalimat-kalimat yang absurd dan terkadang ada tak sepenuhnya salah juga. Ia membuka dengan sebuah pernyataan yang amat apatis (apatis murni). Ia tak mau tahu dengan urusan orang lain. Baginya hidupnya adalah bercanda, ia hanya bercanda. Dan ingin terus bercanda. Bahkan sampai ia mengutip kitab suci. Sesungguhnya hidup di dunia hanya senda gurau. Ia memotong satu ayat qur’an.

Dan satu lagi. Lautan memang indah, luas dengan ikan berwarna-warni, menakjubkan dengan pantai dan pasirnya, dan juga mungkin dengan bikini ditepiannya, tetapi aku adalah ikan air tawar. Bagiku empang yang sempit dan sederhana adalah tempat yang nyaman. Aku tidak akan memaksa diri untuk berenang dan tinggal di lautan. Sebab dengan demikian aku bisa mati. Aku juga tidak akan memaksa paus hidup di empang.

Sekaligus kita menyaksikan bahwa Pidi sedang ingin menunjukkan bahwa dia seorang yang sederhana, mungkin begitu, sebab dia nyaman dengan dirinya yang tinggal di empang dibanding lautan yang luas dan indah. Atau bisa dibuat interpretasi bahwa Pidi adalah orang yang tidak mau keluar dari zona nyamannya, mungkin saja. Tetapi menurutku, poinnya : tahu diri.