Apa yang terjadi dengan LS ?

Senin, Agustus 01, 2016 0 Comments A+ a-

Apa yang terjadi dengan LS ?
Oleh : Kukuh Samudra

Sejarah perkembangan sastra di ITB mungkin panjang. ITB bahkan memiliki unik sastra sejak tahun 70-an, lebih tua dibandingkan dengan UPI (yang dahulu masih berupa IKIP) yang menurut pengakuan salah seorang sumber terpercaya baru memiliki unit sastra beberapa tahun setelah ITB. Unit sastra yang dimiliki oleh ITB ini bernama GAS (Gabungan Anak Sastra) yang telah melahirkan nama-nama alumni seperti Nirwan Dewanto, Acep Zamzam Noor, dan Kurnia Effendi.


Entah kapan tepatnya, GAS akhirnya bubar. Terdapat kekosongan unit sastra ITB beberapa waktu hingga akhirnya LS terbentuk.

Para pendiri LS sejauh yang saya tahu pada waktu itu adalah anak-anak Tiben dan PSIK. Para pendirinya adalah anak-anak yang gemar diskusi tentang sosial humaniora dan filsafat. Saya tidak memiliki bukti resmi, tidak juga terlibat secara langsung, atau bahkan sekedar ngobrol dengan para alumnni. Tapi saya cukup bisa membayangkan apa saja topik bahasan dan kegiatan Lingkar Sastra waktu itu.

Menurut pengakuan Kartini, DKV 2012 yang juga pernah menjabat sebagai ketua Lingkar Sastra, Lingkar Sastra pernah diundang untuk mengisi kajian di PSIK dengan tema sastra dan politik. Masih menurut pengakuan kartini, Lingkar Sastra pada waktu itu hanya memiliki anggota aktif lima orang yang demikian bersemangat (dalam sepi) membahas sastra-sastra berat. Entah pula apa itu sastra berat.

Konon terdapat perbedaan pendapat antara Kartini dengan ketua sebelumnya. Dari gambaran Kartini, dengan saya melihat pendekatan Kartini disandingkan dengan apa yang diceritakan Kartini tentang masa lalu, perbedaannya ada berkaitan dengan tegangan antara bentuk sastra puisi dengan sastra non puisi.
Ketika Kartini menjabat, hanya tersisa kurang lebih 4 orang aktif, yang sebagian besar adalah anak seni rupa. Bahkan orang-orang yang diplot Kartini sebagai kepada divisi, selama itu tidak pernah hadir.

Ada fenomena yang menarik sebetulnya. Apa yang terjadi dengan LS terjadi juga dengan beberapa organisasi lain. Pertama dari segi internal organisasi, loyalitas anggota demikian minim. Kedua dari segi organisasi keseluruhan, unit kajian semacam mati sama sekali. Tidak ada kegiatan.

Atas dasar itulah kami waktu itu membentuk yang dinamakan Aliansi Kebangkitan.

Apa saja kerjaan kami? Diskusi, nonton, silaturahmi, dan berbagi karya (melalui ITB Nyastra atau booklet2). Unit kajian pun mulai menggeliat kembali hingga berganti generasi ketua.

Sudah setahun ini saya jarang main ke LS. Sejujurnya saya malas. Di satu sisi, saya pikir saya harus menjaga jarak juga agar anggota LS memiliki ruang untuk berkembang. Mungkin zaman sudah berubah.

Kecenderungan LS yang saya tangkap akhir-akhir ini adalah bahwa LS sudah tidak menggambarkan unit sastra dengan segala keluasannya. Lingkar Sastra lebih tepat berganti nama menjadi Lingkar Puisi.

Kegiatan sastra di LS hanya berkutat tentang itu : membuat puisi, dan baca puisi. Sah-sah saja membahas puisi, tapi puisi demikian dominan, tanpa ada topik bahasan yang lain meskipun sebetulnya peminatnya banyak. Dalam hal ini, menurut saya pribadi, pengurus lalai. Lingkar Sastra sebagai organisasi seharusnya dapat menjadi tempat para anggotanya untuk berkembang.


Fenomena yang menarik lainnya adalah banyak anggota LS baru, yang horison bacaannya masih terkungkung pada bacaan pop. Tere Liye, Andrea Hirata, atau Kahlil Gibran. Sekali lagi bukan masalah. Saya sendiri bukanlah orang yang menganggap (dan sebetulnya tidak memiliki otoritas sama sekali untuk menilai) bahwa karya Tere Liye bukan 'sastra'. Tapi masalahnya, ketika horison sastra mereka terkungkung pada hal-hal yang demikian, LS tidak bsia maju. Terdapat satu-dua orang yang memilliki tingkat literasi tinggi pada akhirnya karena kalah jumlah dan kalah populer, memutuskan untuk tidak aktif di LS.