[Review Film] The Lobster

Kamis, September 22, 2016 0 Comments A+ a-


“Relationship cannot be bulit on a lie”
Sutradara : Yorgos Lanthimos

Pemain : Colin Farrell, Rachel Weisz, Jessica Barden, Olivia Colman, Ashley Jensen, Ariane Labed, Angeliki Papoulia, John C. Reilly, Léa Seydoux, Michael Smiley, Ben Whishaw

Produksi :Element Pictures, Scarlet Films, Faliro House Productions, Haut et Court, Lemming Film, Film4 Productions

Tanggal Rilis : 15 Mei 2015 (Cannes) 16 Oktober 2015 (Amerika Serikat & Irlandia)

Durasi : 118 menit

Bahasa : Inggris


Empat puluh lima hari lamanya rentang waktu yang diberikan manejer hotel kepada David beserta rekan tuna asmara (loner) sepenanggungannya untuk menemukan pasangan pasca ‘direhabilitasi’ di hotel itu. Jika gagal, mereka akan ‘diubah’ menjadi binatang. Penulis jadi punya bayangan untuk menjadi binatang apa seandainya ia adalah salah satu rekan David.


Di Kota, tiap orang mesti punya pasangan. Petugas polisi akan menangkap mereka yang tidak. Serta akan mengirim mereka ke hotel untuk direhab. Rehab ini bertujuan untuk membantu mereka. Jelas saja para tuna asmara menjadi kaum marginal dalam film ini. Sementara itu tidak jelas apa alasan mengapa tidak boleh ada tuna asmara (loner) yang tinggal di Kota. (Apakah untuk menjaga kelestarian hidup manusia? Entahlah)

David adalah Collin Farrell yang berperan menjadi seorang loner. Ia baru ditinggal oleh istrinya demi ikut lelaki lain. Ia cek-in di hotel dengan membawa seekor anjing. Anjing itu adalah saudaranya yang gagal mengikuti program 45 hari. Di lobby, resepsionis menanyakan beberapa hal yang personal tentang David. Misalnya tentang seksualitas.

David yang gempal, murung, dan kaku memilih untuk menjadi Lobster andaikata ia gagal menemukan pasangan dalam rehab ini.

“Because lobster live for  over 100 years, are blue-blooded like aristocrat and stay fertile all their lives. I also like the sea very much.”

Itulah alasan David ketika ditanya oleh Manejer Hotel.

One loner one extra day. Jatah waktu para Loner bisa bertambah dengan memburu para loner yang melarikan diri ke hutan. Aturan lain yang agak unik adalah mereka dilarang  masturbasi. Di hotel ini juga David bertemu dengan si pincang (Ben Whishaw) dan si cadel (John C. Reilly). Yorgos, sang sutradara, hemat sekali dalam memberi nama tokoh. Telak ia hanya memberikan satu nama saja yaitu David. Selain itu, mereka sekadar dijuluki saja berdasarkan beberapa ciri karakter yang melekat. Kepada apa yang mereka kerjakan. Eksistensialis sekali bukan ? Saya jadi ingat dengan kepenulisan Iwan Simatupang lewat novel Ziarah, Merahnya Merah, Kering dan Koong-nya.

“What’s worse : to die of cold and hunger in the woods, to became an animal that will be killed and eaten by some bigger animal or to have a nosebleed from time to time.”

Karena sesuatu hal, David melarikan diri dari hotel ke hutan. Ia bertemu dengan Loner lain yang dipimpin Lea Seydoux yang sebagai Loner leader. Loner leader adalah wanita yang hampir nir emosi, cenderung sinis.

Siapa sangka di grup loner ini juga terdapat aturan ketat. Mereka tidak diperbolehkan menjalin relasi romantik dan seksual. David nanti mengetahui salah satu hukuman itu : Red Kiss : “We slashes his lips with a razor and the lips of another loner, and we forced them to kiss each other. Theyre flirting”. Melalui keterangan salah seorang rekan loner.

Mulanya itu tak menjadi masalah bagi David sampai ia bertemu Rachel Weisz yang berperan sebagai short-sighted woman.

David mulai suka kepada Rachel. Romansa absurd antara David dan Rachel inilah yang seterusnya menjadi nadi The Lobster.

Yorgos Lanthimos, sutradara sekaligus penulis film ini menyuguhkan alur yang apik. Gaya penceritaan dengan suara-monoton narator yang datar (seperti anak kecil yang mendeskripsikan orang dewasa) menimbulkan efek komedi. Menurut wikipedia, film bergenre dystopian absurd comedy-drama ini adalah debut film berbahasa Inggris-nya Yorgos. Sebelumnya film-film beliau berbahasa Yunani seperti Alps dan Dogtooth.

Menurut Roger Ebert :

Lanthimos is interested, here and in his other films, in the sometimes pathological human need for systems. Why wait for a totalitarian government to institute rules from the top-down when human beings submit to atomization of every aspect of their lives all on their own? If this "need" is wired into the human race, then where does that leave the individual? An individual who doesn't "go along" becomes a renegade, an outlaw, an unwelcome reminder that the system doesn't work for everyone.

Pembuka The Lobster adalah hidangan yang rasanya menegaskan bahwa film ini jelas absurd. Adegan seorang perempuan sedang mengendarai mobil. Penulis sempat dibuat menunggu apa kemudian yang akan terjadi pada pengemudi wanita ini. Pengambilan gambar statis menyorot wanita yang tengah menyetir selama beberapa detik. Kemudian pemandangan luar kabur karena embun sepertinya hujan. Ia berhenti di sebuah lapangan. Di sana beliau menarik pelatuk pistol kepada seekor keledai hitam, hingga jatuh mati. Nah, angle yang diambil The Lobster cukup menyiksa penulis, kamera ditinggal di dalam kabin mobil, menyorot sang perempuan mengeksekusi keledai yang juga absurd tersebut. Pasca itu, sang perempuan kembali ke mobil dan segera muncul judul film THE LOBSTER. Adegan kemudian berganti ke David  yang duduk dengan anjingnya di sebuah ruang tamu. Suara istrinya (yang tidak kelihatan orangnya) sebab David membelakangi sang istri.

Wife    : I’m really sorry
David   : Does he wear glasses or contact lenses?
Wife    : Glasses

Penulis kira ini adalah percakapan perpisahan mereka sebab istrinya ingin meninggalkan David. David kemudian diangkut dengan mobil menuju hotel. Ia ditemani dua pengawal yang check-in di hotel.

“He was thinking his wife didn’t love him at all anymore. He didn’t burst into tears and he didn’t think that the first thing people most people do when they realise someone doesn’t love them anymore is cry.”

Paduan monolog dari narator dan adegan David berjalan menuju mobil van mengenalkan jelas bahwa David manusia yang indiferen.

Yorgos Lanthimos menyajikan film yang komedi romantis yang lain dari biasa. Adegan demi adegan ia racik dengan apik sehingga penonton akan dibuat bertanya apa dan mengapa.

Pergulatan David curi-curi untuk bermesraan dengan short sighted woman menjadi hal yang menarik untuk diamati dan dinanti kelanjutannya. Latar musik minimalis juga disukai oleh penulis. Gesekan cello yang berulang juga “Apo Mesa Pethamenos”” dari Danae membuat film yang mendapatkan Penghargaan Juri pada Cannes Festival 2016 ini tidak kering dan tidak pula ambisius.


Film ini tidak disarankan untuk penonton yang mengharapkan adegan action full CGI , drama yang mengeksploitasi air mata, atau adegan syur yang muncul tiap skena. Film ini menampilkan semacam satir dan komedi-gelap. Sebaliknya, film ini tentu menjadi alternatif bagi penonton yang ingin menyaksikan kisah cinta yang lain.