Undang-undang Perasaan (Awal--Selesai)

Minggu, Maret 10, 2013 0 Comments A+ a-

10 Desember 2012
Hari ini adalah hari yang lumayan bersejarah bagiku. Bukan karena tanggalnya yang cantik 101212, juga bukan karena nomor absenku 10 di SMA. Tapi.
Menurut kalian apakah aku harus menceritakannya?
Ya daripada tidak ada yang kuposting hari ini, ada baiknya dan memang lebih baik aku membuatkan ini kepada kalian.
Malam yang sunyi aku berpikir ulang tentang sesuatu yang selama ini terkunci rapat. Sesuatu yang terpenjara dalam alam batinku. Alam batin yang paralel dengan alam nyata. Alam batin yang selalu mempengaruhi alam nyata. Setiap kita punya rahasia dan rahasia bukanlah rahasia lagi bila sudah diberi tahu kepada orang lain. Sama seperti perasaan yang bernama cinta. Cinta bukanlah cinta tanpa diketahui objeknya. Cara mengetahuinya tentu saja banyak. Tidak hanya lewat lisan atau tulisan saja. Tidak hanya dengan tingkah laku dan perbuatan saja. Tetapi ada juga yang lebih advanced. Interaksi hati. Ya interaksi hati. interaksi ini secara singkat adalah hubungan yang disebabkan adanya keselarasan frekuensi yang dipancarkan oleh hati. Mungkin terdengar fiksi, tapi ini ilmiah.

OK untuk tidak memperpanjang mukaddimah. Aku akan langsung menceritakan kepada kalian semua.

Malam itu Bandung seperti malam-malam biasa di awal bulan November dan Desember. Tidak ada bulan, tidak pula rasi bintang. Awan gelap menutupi cahaya mereka.

Malam itu aku berpikir dua kali, sekali lagi dua kali. Apakah harus benar-benar akan aku ambil keputusan ini ? 

Setelah hampir 3 tahun. Aku akhirnya mengalah juga kepada kenyataan. 
***

Selamat pagi. Selamat. Semoga tidak hanya pagi ini saja kita selamat. Selamat saat menjelang siang, saat siang, menjelang sore, saat sore, sampai malam. Selamat sampai malam. Sampai berbaring di tempat tidur kita selamat lagi. Ada selamatan yang meliputi semua ini, “ Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”.

Sepagi ini aku sudah mengkhayal, tentang apa yang telah kukerjakan semalam. Pekerjaan yang semoga tidak akan pernah kusesali. Meski, meski ku tahu akan banyak ‘undang-undang perasaan’ yang kulanggar.

Hari ini tanggal sebelas desember. Tanggal sebelas, bulan dua belas, tahun dua ribu tiga belas. Kata dukun modern di televisi akan banyak terjadi kejadian memilukan. 

Menurutku lagi, bukankah sejak tahun-tahun dahulu sudah banyak terjadi kejadian memilukan ? Pria yang mencuri demi biaya persalinan istrinya, anak-anak mengais makanan sisa di tempat. Sampai dengan peristiwa pemerkosaan siswi smp oleh teman sekelasnya

Sepagi ini sudah kumulai dengan lamunan. Khayalan. Imajinasi.
Pekerjaan, maaf bukan, sebagian orang tidak mengklasifikasikan hal seperti ini ke dalam bentuk pekerjaan. Karena menurut golongan mereka, bekerja itu di tandai dengan adanya uang mengalir. Peduli apa mereka tentang halal haram. “yang haram saja susah”.

Sepagi ini aku dikejutkan oleh peristiwa yang tidak akan kulupakan seumur hidup. Tentu saja bila cerebrum-ku tidak bad. Selama komponen-komponennya masih berfungsi, kejadian ini akan selalu mendapat kordinat yang jelas disetiap mikron sektor ingatanku.

“Tok..tok..tok..”

Suara ketukan pintu berkali-kali mengetuk kontrakanku. Siapa ya yang sudah sepagi ini mau bertamu? Rasanya aku tidak pernah membuat janji untuk bertemu sepagi ini. Aku menarik ujung selimut, mengguling diri. Memanjakan rasa malas menggerogoti fisikku. Suara ketukan itu frekuensinya bertambah banyak, dengan jarak pukulan yang semakin jauh. Aku jadi teringat sebuah film Hollywood tentang analisa ketukan pintu. Ketukan lembut, sedang keras, sesekali, berulang, tergesa-gesa. Aku lupa, mana ketukan pintu dari seorang kekasih, pengantar paket pos, ketukan teman yang teler, dan mana yang ketukan polisi, ya polisi yang tengah bernafsu menangkap penjahat. Penjahat yang pastinya bukan seorang koruptor.

Rasa malasku beranjak beberapa jenak. Aku mengibaskan selimut merah mudaku. Kuregangkan tangan. Aku menguap lima detik. Lalu kubukakan pintu kepada si pengetuk pintu yang tak sabaran itu.

Apa yang engkau bayangkan kawan? Aku mimpi apa semalam? Mimpi apa?
Dua orang berseragam rapi dengan celana bahan warna coklat. Dua orang polisi, ya polisi. Bisa kau bayangkan, saat dirimu sedang nyaman di dipan. Tiduran di kasur dengan selimut. Polisi datang. Aku beritahu kalian polisi ini tingginya hampir setinggi pintu kontrakanku dan satu lagi hanya sebahu si Jangkung (istilahku sendiri). Meski lebih pendek, tetapi yang ini tampak lebih sangar dengan kumis tebalnya. Kumis yang setidaknya sudah 40 hari tidak dicukur menurut analisisku.

“Maaf, bisa bertemu dengan pak Dan?”
“Ya, Dan itu aku pak. Tapi aku bukan Bapak-bapak. Aku masih 20 tahun.” Mahasiswa Pak. Aku mencoba mencairkan suasana. Sesuai dengan pembawaanku yang selalu sok akrab

By the way ada apa ya pak berdua mencari aku?”
“Kami dari Kepolisian Bawet datang untuk membawa bapak ke kantor. Ini surat penangkapan bapak.” Si Polisi jangkung menyodorkan sesuatu amplop. Sewarna dengan warna baju dinas yang dipakainya.
Rasa malas dan memanjakan diri tadi lenyap. “Tapi kenapa ya? Aku gak ada berbuat kriminal kok Pak. Aku merasa tiada melanggar kitab KUHP dan kroni-kroninya Pak”, mencoba membela diri. “Mungkin bapak salah tangkap”.

“Nanti kita jelaskan saja di kantor..Bapak berkumis tebal itu memborgol tanganku. Aku diperlakukan seperti pelaku kriminal. Alamak mimpi apa aku semalam??

Pertanyaan pun mulai bertumbuh di dalam pikiranku. Apa? Apa peraturan yang sudah kulanggar? Mungkinkah mereka salah tangkap? Apa mungkin karena puisiku tentang koruptor itu?

Tidak mungkin. Tidak ada sejarahnya seseorang di tahan karena puisinya yang merendahkan koruptor. Tidak ada. Atau mungkin aku yang akan membuat sejarahnya. Aku tidak tahu.

Yang aku tahu hari ini aku harus ikut ujian akhir semester. Rangkaian Listrik dan Elektronika. Aku mahasiswa semester tiga di jurusan Teknik SemiElektro di Universitas Kehidupan.

Apa gerangan yang membuat diriku menjadi tersangka?
Apakah gurauanku tentang polisi? Pencemaran nama baik? Atau karena blogku yang banyak berisi tentang realita bangsa indonesia saat ini. Katanya kemerdekaan berpendapat, bebas. Nyatanya ?

Apa mungkin?
Apa mungkin ?

Don't ask questions you don't want to know the answer to. (agen K dalam film MIB 3)
The bitterest truth is better than the sweetest lie. (Griffin dalam film yang sama)
***
“Gimana Bro? Bisa nggak kita ke Lubuk Dalam? Di sana udaranya dijamin bersih Bro. Belum ada asap kayak di Bandung. Sungainya pun bersihnya luar biasa. Belum ada kosakata ‘tercemar’. Kita bisa berenang tiap sore. Bisa jadi lebih bersih dari aquarium di rumah pak Dosen Sisdig. Ikan arwananya itu barangkali akan lebih comfort disana. Airnya sejuk jernih, komponen biotika dan abiotiknya belum diinjeksi detergen, shampo, dll.


“Gimana ya Mat? Aku sepertinya belum bisa ini. Masih ada yang harus aku kerjakan disini." Dengan nada yang dibuat seolah menyesal. Aku mencoba membohongi Amat. Siapa pula yang tiada suka berlibur ke desa yang masih suci? Siapa pula yang tiada mau mengunjungi lingkungan dengan udara bersih dan sejuk dipagi hari. Suasana desa, anak-anak bermain di lapangan tanpa khawatir akan ada bus yang lalu lalang melintas. Melihat dan turut serta di dalamnya. Anak anak yang berlarian main layangan, menangkap capung, berburu jangkrik di malam hari dan membakar jagung, ubi atau pisang.



“Ongkos pergi biar aku yang tanggung deh. Tapi ongkos pulang ya. Kembali ke kamu. Hehehe” Gigi-gigi rapihnya tak sengaja tersingkap saat senyum. Amat tetap membujukku. Ia sepertinya tahu alasanku sebenarnya bisa digantikan dengan paket liburan ini. Siapa pula yang tiada tergoda liburan ke desa temannya setelah berpenat ria, berkutat dengan teori rangkaian listrik, matriks dan ruang vektor, teorema stokes dan green yang yang susah diidentifikasi serta seabreg praktikum barisan resistor, kapasitor, dan juga filter aktif, pasif dan lain lain yang ujung-ujungnya meminta tumbal. LIBURAN.

Tapi sebenarnya ada alasan khusus yang tidak bisa aku jelaskan seterang lampu philips yang katanya terang terus. (mungkin jika terjadi fluktuasi tegangan listrik, philips sudah membohongi jutaan manusia di permukaan bumi ini.) AH.

“Ya Mat, aku masih ada urusan di Bandung. Kamu duluan aja. Nanti kamu kirim foto-foto, biar aku liburan di lautan manusia ini pake foto foto alam dari desamu.” “Hahaha”, mulutku ternganga. Aku tertawa lagi untuk kesekian kalinya.

"Siapa tahu tahun depan aku berkesempatan datang kesana. Atau kalau ada foto yang bagus nanti aku kirim ke lomba fotografi. Kalau menang, hadiahnya kita jadikan modal. modal membangun SIAP privat. Hehehe.” Aku kembali mengungkit sejarah bimbingan yang dahulu pernah aku rencankan bersama Amat. Siapa tahu lagi suatu saat bimbel ini akan mengalahkan GO, NF, neutron, inten, dan sony sugema college. Kan yang bikin alumni kita juga heheh. saatnya regenarasi dong. Aku dulu sering melempar candaan ini ke tengah kami.

“OK lah jika memang begitu bos. Gak papa. Semoga urusan di Bandung-nya lancar ya !” Amat menepuk pundak kananku tiga kali. Kemudian ia berbalik. Meninggalkanku.

Aku sebenarnya ingin sekali sekali lagi ingin sekali pergi ke desa lubuk dalam. Desa yang sejak tingkat satu sudah Amat ceritakan padaku. Hal ini tentu saja tidak ada hubungannya dengan aku dan konflik internalku dengan Amat. Kami sahabat sejati. Tidak ada istilah konflik sehingga aku tidak menerima tawaran baiknya. Tapi ini tentang undang-undang perasaan.

Ya undang-undang perasaan yang entah siapa yang membuatnya.

Undang-undang perasaan yang sudah membuat aku ditangkap polisi sebulan yang lalu. Meski akhirnya aku dilepaskan karena Sarah mencabut tuntutannya.
Aku harus ingat bahwa perasaan itu harus dijaga. Komitmen. Dan aku sudah berkomitmen untuk tidak mau bertemu Sarah lagi dengan sengaja. Aku tidak boleh. Ya. Sebisa mungkin harus menjauhi beliau.

Aku. Harus. Menjauhinya. Disisi lain aku terlanjur tahu bahwa Sarah akan mengadakan KKN di desa Lubuk Dalam. Tentu bila aku kesana. Otomatis sama saja artinya aku membuka luka lama. Luka yang berada tepat di muka. Dan terasanya menyayat kedalam dada. Aku tidak ingin luka itu kembali menganga. Aku ingin. Cukup saja. Aku harus melupakannya. Bukankah dia sendiri yang mengatakan bahwa dia tidak pernah nyaman denganku? Apalagi kalau bukan sebuah penolakan paripurna. Statemen ultimatum atau apapun determinasi klausanya aku tetap paham. Aku bukan untuknya. Sebegitu besar perasaan, ah sudahlah. 

Sudahlah kau bayangkan saja. Kau punya segumpal perasaan yang amat teramat sangat untuk seseorang. Tetapi  di saat yang sama, entah seri atau paralel, dalam dimensi yang sama,  Dia declare bahwa dia samasekali tidak nyaman denganmu.

Selamanya aku berjanji. Tidak mau bertemu dengannya. Jejaknya akan kuhapus semampu diriku.

Selamat apapun saat kau membaca tulisan ini. Semoga Tuhan selalu melindungi kau dan segala yang kau sayangi. Karena menurut kenaifanku mendoakanmu akan meliputiku juga. Aku tidak akan memulai tulisan ini dengan sekadar bertanya apa kabarmu disana, sehatkah dirimu? Masihkah senyummu sebidadari dahulu? Tidak. Aku bahkan tidak tahu harus berkata apa, atau lebih akurasinya, bertanya apa.Karena aku takut merusak kedewianmu. Aku tahu meski sedikit, bukan sok tahu. Dewi ditakdirkan untuk dilindungi oleh Dewa, tidak manusia, apalagi macam aku. Aku takut merusak kedewianmu. Karena aku pernah mendengar tentang kisah anak manusia yang mencoba mengganggu kehidupan Dewi. Akhirnya, jasadnya memang tiada tersisa dimakan makhluk ajaib yang bernama cemburu. Dewa mengutus beliau untuk melumatnya. Aku sebenarnya tiada ingin bernasib sama dengan kisah anak manusia tersebut. Aku. Ya seperti yang temanku bilang juga. Wanita itu butuh kenyamanan dan ketenangan. Ya aku tidak terlalu membantah hal ini. Tetapi bagi seorang dewi? Bisakah kau menjawabkannya untukku? Tidak mengapa jika kau tidak bersedia. Hal itu berarti kau memang dewi yang tidak hanya butuh kenyamanan dan ketenangan. Aku belum mulai karena aku tidak tahu harus bagaimana dan apa yang dimulai. Bagiku. Dewi tetaplah dewi. Kau adalah dewi dan aku manusia. Aku harus mengakhiri tulisan ini tanpa tahu apa sebenarnya yang aku tulis ini. Aku. Mungkin izinkan saja teori random untuk bersabda. Seribu tujuh ratus empat belas, himpunan tanda baca, huruf, spasi ingin berbaris, secara acak, secara random untuk menyampaikan sebuah pesan dari manusia kepadamu, Dewi. Anggap saja ini sebuah kebetulan yang disengaja. Jangan setuju untuk tidak setuju. Mari setuju untuk setuju. Aku:Harmoni

Iniliah vektor yang membuatku sempat mendapat ilmu di hotel prodeo. Surat model ini menjadi barang bukti atas pidanaku yang akhirnya tidak tersentuh hukum. Aku dituntut oleh Sarah. Dan jelas pihak pengadilan tidak bisa menunjukkan undang-undang KUHP pasal berapa yang aku langgar. Ya. Sarah. Meskipun sudah cukup mencemarkan namaku. Aku tidak balik menuntut beliau. Aku mencoba memaafkan diriku sendiri. Yang salah langkah. Salah langkah

“Dan, Aku sebenarnya tiada pernah ada niatan untuk menyakiti perasaanmu. Hanya saja saat itu kau datang pada waktu yang kurang tepat”. Suara lembut itu mengalir merdu. Merambat di udara, membentuk gelombang kasat mata, rapatan-renggangan, menggetarkan atom sekitarnya dan sampai ke lubang telingaku. Lanjut menggetarkan rumah siput dan segala organ rumit yang Tuhan titipkan dalam telingaku. Sinaps di otakku praktis menerjemahkannya, sampai, sampai Hati yang kata manusia itu bergetar menerima kalimatnya.

Tapi apa daya, aku sudah berjanji. Rasionalitas dan akal sehat. Hanya akal yang sudah tidak sehatlah yang akan membuatku kembali kepada perasaan ragu yang menyerbuku dahulu.

Belum sampai Sarah melanjutkan kalimat keduanya.
Aku segera bertransformasi. Alam bawah sadar, alam mimpi ku seketika lenyap dan tergantikan dengan alam yang sering kita sebut dunia realitas dan kenyataan. Kenyataan. Kenyataan yang selalu menjadi misteri dan tanda tanya, meski sebenarnya lebih penuh dengan tanda seru !.

Aku terbangun dari mimpi. Suara kukuruyuk ayam membangunkanku.
“Kukkuruyuk”.
Tak lama Amat yang terakhir aku sadar sedang memperbaiki lukah disamping ku tadi malam. Muncul dari sebalik pintu. Nyenyak benar tidurmu Dan, masak tidur jam 8 bangun baru sekarang. Lihat nih aku tidur jam setengah satu. “Demi ini”. Dia menyodorkan lukah dari bambu yang sudah ia perbaiki.
Oh iya. Bagi kalian yang membaca cerita ini aku belum sempat bercerita bahwa pada akhirnya aku menyerah kepada tawaran amat untuk berlibur ke desanya.

“Mat kau percaya tidak alam sadar dan bawah sadar itu ada kaitannya?”
“gak tau juga.”
“Nah lo.”

“Aku kan bertanya kau percaya atau tidak?”
“Iya aku gak sepenuhnya percaya.”
“Nah aku baru saja membaca buku pengalaman mereka berkata bahwa ada sebuah suku di sebuah negara yang menganalisa mimpi.”
“Dan hasilnya selama berabad abad tidak pernah terjadi konflik di suku itu.”
“Hah itu Cuma kebetulan saja.”
“Cepatlah kau mandi, biar nanti kita gantian. Setelah itu kita ke musholla. Sholat shubuh kemudian jogging.”

Mimpi bukan hanya sekadar bunga tidur tetapi lebih dari itu. Mimpi adalah bagian dari diri yang memanifestasikan sifat diri kita ketika tidak dalam keadaan sadar atau terjaga. Ketika mimpi baik misalnya berarti jiwa kita menuntuk kita untuk berlaaku demikian tetapi jik amimpi buruk berarti bagian diri kita yang jahat ingin menyakiti kita. Oleh sebab kita kita harus berwaspada ketika bermimpi buruk dan keitika mimpi baik kita harus berbuat baik pula. Begitu kata buku yang kubaca.

Apa mimpiku semalam ada artinya. Apakah benar Sarah demikian? Jangan jangan aku dan segala diriku merangkai imajinasi dalam alam mimpi bahwa sesungguhnya Sarah adalah benar suka padaku?
INI DESA LUBUK DALAM TUJUANNYA UNTUK BERLIBUR. BUKAN UNTUK MENGENANG DAN MENGINGAT SARAH.TITIK
 “Mat, kamu memang yang terbaik untuk Sarah. Jaga dia baik-baik ya. Dari awal aku hendaknya tidak mengganggu hubungan kalian. Aku ihlaskan aku relakan. Persahabatan kita ini adalah persahabatan terbaik sedunia. Aku setuju jika kamu yang menjadi penjaganya. Aku tidak akan mengungkit-ungkit lagi perasaan aku kepada sarah. Kamu adalah sahabat terbaik aku.”
Dari awal aku harusnya tahu bahwa realitasnya sarah menaruh hati memilih perasaan kepada Amat teman dekatku. Aku tidak boleh memaksakan.
Aku yakin Tuhan akan berikan yang terbaik untukku.