Dalam Kerangka

Rabu, Juni 12, 2013 0 Comments A+ a-

“Dalam Kerangka kita bersua”
Mungkin bagimu cicak berjalan terbalik di langit-langit.
Tapi baginya,  kaulah yang diatasnya.
Untung saja, jantungmu tidak salah pompa.
Dalam kerangka kita berdua.
Mungkin bagimu aku benci.
Tapi bagiku kau adalah...
Untungnya, kau pun...
Terima kasih..

Frekuensi tepuk tangan memenuhi aula. Tanpa sadar aku berdiri, melakukan ‘standing applause’ kata orang ‘amriki’ sana. Ruangan berkapasitas 100 orang ini sesak dengan para pecinta puisi. Diantara ratusan manusia disini, barangkali hanya aku seorang yang ‘setengah suka’ pada prosa lama ini. Walaupun begitu, aku tetap ingin menyaksikan dia ikut lomba ini.
MC segera mengambil alih. Memanggil  peserta berikutnya.

Hidup memang menunggu giliran

Dingin sekali Bandung pagi ini. Sampai-sampai ‘kuap’anku bisa dilihat bentuknya. Seperti gumpalan asap orang yang merokok. Sweater parasut dan celana training ini ternyata tidak cukup menahan udara dingin. Kalau boleh aku curhat pada kalian : inilah situasi angin dingin menembus tulang seperti kata para pujangga itu. Aku iseng mengecek situs BMKG. Penasaran. Berapa sih kalau segini ? Wow. Pantas saja. Tujuh belas derajat. Mana kuliah jam tujuh lagi. Kesalku dalam hati. Aku kemudian bertarung melawan setan-setan yang merayu supaya telat kuliah. No..no. I will win this game. This is my life. What I choose today is my future then. O ya. Aku ingat lagi di Eropa, kalau musim dingin itu suhunya bisa mencapai minus sekian derajat celcius.

Brrrr.. Selesai mandi, aku mengusap tarason ke beberapa titik di badanku. Betis, tengkuk, bagian disekitar leher. Supaya hangat. Asumsiku dalam hati. Kuseduh jahe saset dan kusantap roti tawar selai blueberry.Flash Breakfast. Ransum yang sudah kubeli sejak jumat. Hari ini akan ada kuliah yang menarik. Kulihat jadwal di dinding kamar. Wah lantai 4 ya? Tidak apa. Sekalian pemanasan. Pikirku sambil mempercepat kunyahan.

Berpikir positif memang mengundang energi postif
Sepasang muda-mudi terlihat asyik masyuk bercakap-cakap di pinggir pantai. Mereka duduk diatas tumpukan batu-batu besar yang konon kata pemerintah adalah ‘pemecah ombak’.  Ombak berdebur-debur saling berkejar. Kata Dewi Lestari lewat Kugy-nya laut adalah lagu alam terindah di dunia. Aku tidak begitu yakin karena selain aku belum pernah mendengar lagu dari seluruh dunia, kadang-kadang juga, suara pengamen juga bisa menjadi begitu indah bagiku. Suara khatib jumat juga bisa jadi lebih indah daripada ombak. Tergantung suasana hati juga sih.
Hati sering berubah. Sesuai dengan frekuensi disekitarnya
“Frekuensi. Apa yang kalian ketahui tentang frekuensi?”
Professor lulusan jepang itu bertanya kepada kami tentang frekuensi. Tiba –tiba seorang mahasiswa mengacung. ”Jumlah getaran per detik pak”. Sontak kelas berubah jadi rame. Suara cekikikan dan tawa yang tertahan memecah keheningan. Mahasiswa gondrong di pojok belakang bangun sebab mendengar suara tawa yang mengganggu meditasinya(tidur). Kaum yang tertawa itu sepertinya tahu jawaban itu selevel ide anak smp. Mestinya mahasiswa tingkat dua sudah bisa menjawab pertanyaan dengan lebihexpert. Barangkali inilah kemajuan bangsa kita : suka menertawakan orang lain yang mengemukakan pendapat. Jangankan menghargai. Hehe. Daripada panjang dan lebar. Aku akan mengekspresikan frekuensi menurutku. Silakan ditertawakan.

Bagiku frekuensi adalah salah satu bentuk energi. Frekuensi adalah perwujudan gelombang yang bisa memengaruhi kehidupan. Mengapa ? Karena sesungguhnya apa yang kita lihat apa yang kita rasakan bahkan apa yang kita pikirkan berada dalam alam frekuensi. Sayangnya belum ada transformasi yang melebihi Tranformasi Laplace untuk  menjelaskan semua itu menjadi lebih simpel dan enak dirasa.

Kita melihat benda karena ada gelombang cahaya dengan frekuensi tertentu. Kita mendengar suara radio, bisa menyaksikan artis meliuk-liuk di TV karena electromagnetic wave dengan frekuensi tertentu. Catatan kaki, indera kita tidak bisa menangkap semua frekuensi. Begitulah sayangnya Tuhan kepada kita. Bisa kita bayangkan jika ratusan suara melintas di telinga? Jutaan gelombang TV, radio, sms dan percakapan telepon yang bahkan bisa jadi sangat mengganggu. Rahasia penyerangan Amerika ke Pakistan, Rencana busuk Israel untuk menyerang Palestina, Skenario penangkapan teroris yang direkayasa. Wuiss akan banyak sekali hal yang akan terdengar oleh kita.

“Duarrr.” Tiba tiba suara keras terdengar dari arah kanan. Apa gerangan yang terjadi?

Astagaa. Sebuah toyota yaris putih menabrak sepeda motor matic di depannya. Motor yang ditabrak itu terpelanting beberapa meter bersama pengemudinya.

Alamaaak.. Mio itu. Mio merah itu.Bukankah Dia, Dia.

Apa yang kita lihat sebenarnya bukanlah yang sebenarnya karena yang riil bukan yang sebenarnya. Yang sebenarnya terdiri dari dua komponen: riil dan imajiner. Kita hanya bisa menangkap bagian riil saja
Langit Bandung tidak hitam malam ini. Tidak biru juga. Hanya sedikit orange disana. Gerimis tidak melunturkan semangatku mencari Kebab. Makanan baru ini memikat seleraku. Kebab yang kemarin yang dibelikan Fadil membuat lidahku merindu penasaran. Tapi ternyata tempat yang ditunjukkan Fadil lewat smsnya sudah tutup. Kudayung lagi sepeda genio-ku dengan semangat ‘65.

Satu kedai yang tutup bukan berarti semuanya sudah tutup


MC mempersilahkan peserta dengan nomor pendaftaran 30 untuk maju membacakan puisinya. Bagiku sudah tidak perlu lagi. Bukankah aku hadir disini hanya untuk hmm?
Segera aku datang mendekatinya. Pembaca puisi yang sudah melibas imajinasiku tadi.
Kuulurkan tangan untuk memberikan selamat. Namun sambutan baik belum menjadi takdirku hari ini. Mungkin frekuensi kami sedang berbeda. Ah. Selalu berbeda.

Total sudah empat puluh lima kali frekuensi itu berbeda.

Ia berbalik seperti tidak setuju dengan ucapan selamatku. Aku berbalik.

Kudayung sepedaku menjauh dari lokasi itu. Aku tidak bisa terima. Aku tidak bisa terima. Bukankah hati manusia juga seperti logam. Dia juga punya batas tegangan dan beban. Sabar memang tiada batasnya. Tapi dalam kasus ini. Manusia memang terbatas. Kesabaranku terbatas.

Crack tidak bisa dihindari. Tetapi bisa diobati

Ditengah kerumunan orang, kulihat dia. Dia yang tadi membaca puisi sebegitu indahnya. Sekarang terbujur di tengah jalan. Tak sadarkan diri. Tubuhnya basah oleh darah segar. Tidak jauh dari badannya yang sudah tidak sadar terguling sebuah piala kuning keemasan. Aku mengenalnya, benar-benar mengenalnya sejak kecil.


“Lintasan ini kenapa tidak seperti biasanya ya? Kok jadi asik gitu ya?”
Budi yang berlari dengan nafas sengal di sampingku. “Haha biasa saja. Mungkin karena kamu tadi malam tidurnya lebih awal, jadi seger gini. Gak kayak aku yang harus nulis cerpen sampai jam dua. Baru tiga jam harus lari lagi” Budi mengumpat. Sebenarnya salah dia juga mengapa menumpuk tugas-tugas. Mengapa mengerjakan tugas J-19 ? Sembilan belas jam sebelum pengumpulan.
“Ah aku tahu itu kan maksud kamu?” Budi menunjuk sekelompok orang di seberang sana. Lintasan lari yang elips itu memungkinkan kami melihat ada segerombolan berkerudung di post start.



Cahaya terang muncul diantara kelopak mataku. Seperti bangun pagi dengan telisik cahaya matahari menembus retina. Seorang berpakaian putih, bermasker hijau, stetoskop sedang menyenter mataku. Tali infus dan kabel bening lainnya mengular di sekitar tubuhku. Dimana ini?. Bau spesial obat-obatan menguar di udara, berkeliaran di sekitar hidungku. Membuat perut mual dan ingin muntah. Kamar rumah sakit.

“Dia siuman” kata dokter kepada dua suster dibelakangnya.

Kulihat diatas meja ada tumpukan bunga dan piala. Sejurus kulihat dan kuperhatikan ada juga teks ini disana.

“Dalam Kerangka kita bersua”
Mungkin bagimu cicak berjalan terbalik di langit-langit.
Tapi baginya,  kaulah yang diatasnya.
Untung saja, jantungmu tidak salah pompa.
Dalam kerangka kita berdua.
Mungkin bagimu aku benci.
Tapi bagiku kau adalah duniaku
Untungnya, kau pun pahami

“Dan pemenang lomba baca puisi se Jawa Barat tahun 2013 ini adalah...”

“Selamat ya Ris,” Ya sama-sama.

Frekuensi tepuk tangan memenuhi aula. Aku tidak menyangka hari ini akan terjadi dua hal luar biasa juara lomba baca puisi kemudian terbaring di rumah sakit.
Semoga kata “skizofrenia” yang diucapkan dokter diseberang sana bukan untukku.

Apa yang kita lihat sebenarnya bukanlah yang sebenarnya karena yang riil bukan yang sebenarnya. Yang sebenarnya terdiri dari dua komponen: riil dan imajiner. Kita hanya bisa menangkap bagian riil saja