Payung Biru, Kamera dan Lelaki Biola (Awal--Selesai)

Rabu, April 03, 2013 0 Comments A+ a-

“When the sun shines, we’ll shine together
Told you I’ll be here forever
Said I’ll always be a friend
Took an oath I’ma stick it out till the end
Now that it’s raining more than ever
Know that we’ll still have each other
You can stand under my umbrella
You can stand under my umbrella”

Suara Rihanna ini menemaniku menyantap apel hijau di atas meja. Bakda beberapa kunyahan, terasa kombinasi asam dan rasa manis mengeskpresikan sensasi nikmat dari lidah ke otakku. Untuk melancarkan mekanisme pencernaan, kuminum segelasair hangat. Ya Tuhan lezat sekali. Syukurku dalam hati.

Aku mengamati satu per satu hasil jepretan sekitar sejam yang lalu. Cursor mouse-ku terhenti pada sebuahfoto : kupu-kupu biru diatas anggrek putih dengan latar langit sore. Seperti diberi efek sephia saja. Gumamku.

Sejak kecil, aku suka sekali yang namanya fotografi. Kalau boleh, sudah layak disebut sebagai cinta. Ya Aku cinta fotografi. Dinding kamarku dihinggapi puluhan foto(bahkanbisa sampai 100 lebih) yang kuambil sendiri. Di rak bukuku berjejer buku-buku tentang fotografi, klasik hingga modern. Berbekal sebuah kamera peninggalan almarhum ayahku, aku menjalani hubunganku dengan hobi ini.

“Sarah,mandi dulu, mama sudah siapkan air panas” suara Mama lembut memanggilku. “Sebentar Maa......” Aku lagi asyik menikmati foto-foto di layar. ”Nanti airnya dingin lagi sayang” Mama mengingatkanku. Kurang dari sepuluh detik aku sudah meninggalkan mac book yang masih sibuk menerima data dari kameraku. Copying.


***

“Sarah, kamu memang mewarisi sifat ayahmu. Tadi mama lihat foto-fotomu, mama jadi ingat beliau.”
Refleks. Mataku berkaca-kaca. Kulepas kacamataku. Aku mendongak, menatap keatas, berharap kristal-kristal ini tidak jatuh. Namun tak dinyana. Di langit-langit muncul bayangan kenanganku bersama Ayah. Saat ayah mengajariku memfoto ditaman, mencari fokus, dan angle. Kalimat Mama menjadi mantra yang me-recall  kenangan masa kecilku dengan Ayah. Air mataku tidak kuasa menahan gravitasi. Mereka jatuh perlahan, mengalir hangat di pipiku. Seolah ingin membasuh memoriku agar aku kembali menatap ke depan. Seperti percikan air bagi seorang yang tidur agar ia bangun dari mimpinya. Begitu kurang lebih menurut persangkaanku.

“Heh,kenapa malah nangis begitu?” dua jempol Mama mengusap mataku. Senyuman Mama kemudian menentramkanku. Aku mendekat memeluk mama. Hangat. Mama mengusap kepala dan mengelus punggungku.

“Ma,menurut mama, foto-foto tadi mana yang paling bagus?” Kucoba menetralkan flow kembali.
“Duuh,susah. Paling bagus semua”.
“Yee Mamaa, yang paaaaling paling bagus kalo begitu.”
“Tadi Mama liat ada yang objeknya beda dengan yang lain. Biasanya kan kamu fotonya itu bunga atau serangga. Yang ada pemuda itu kayaknya. Soalnya unik sendiri.” Mama menekankan.
“Eh?”Aku tediam. Ada perasaan malu menyerangku. Tidak tahu mengapa.
“Sarah, ada apa? Mukamu jadi merah begitu”. Senyuman mama mengisyaratkan sesuatu.
“Anak gadis mama kasmaran nih ya??.”

Aku segera membantah, ”Enggak kok Ma foto itu salah ambil. Tadi ada kumbang oranye yang mau aku foto. Ternyata eh kumbangnya terbang, jadi deh foto itu. Nanti bakal kuhapus kok”. Aku terbata-bata menjelaskan bahwa memang foto itu tidak kuambil dengan sengaja. Nada bicaraku patah-patah tidak terkontrol. Ibu tentu tidak susah melihat kebohonganku ini. Huuh. Aku jadi menggaruk kepala yang tidak gatal.

“O,begitu...” Mama mengangguk sambil ketawa kecil.

“Aku serius Maa”. “Iya-iya, Mama percaya kok”

***

Payung biru ini juga pemberian almarhum ayah. Sebenarnya tidak ada yang istimewa padanya. Toh payung ini sama dengan payung-payung lainnya. Tidak dikhususkan dibuatkan pabrik untukku, tidak diukirkan namaku di gagangnya. Tetapi payung inilah yang selalu menemaniku panas dan hujan. Kata teman-temanku di kampus, aku overprotecting dengan payung ini. Klaim mereka ini muncul sejak menyaksikanku mengelap payung ini sesudah kupakai saat hujan di kampus. Bagiku payung lebih dari sekadar pelindung panas dan hujan. Payung yang rela kedinginan diterpa air hujan dan kepanasan disengat matahari adalah sahabatku. Banyak teman kuliahku menganggap aku lebay. Don’t care lah, toh ini prinsipku yang tidak akan mengganggu mereka.

Aku merawatnya dengan baik. Selesai dipakai dia selalu ku lap. Dengan kain lembab kalau hari panas dan kain kering jika hari hujan. Tidak heran sudah hampir dua belas tahun payung ini masih awet.

***

Gesekan bow ke senar-senar biolanya begitu harmoni. Menghasilkan nada-nada dengan irama menyayat hati. Sedih. Itu kesan yang ditimbulkan frekuensi biolanya. Aku terbawa hanyut. Tanpa sadar, kelopak mataku ikut mengatup dan kepalaku menggeleng-geleng perlahan. Memang musik bisa memengaruhi perasaan manusia,pikirku dalam hati. Bukankahtubuh fisik kita ini di susun oleh atom-atom yang bergetar? Secara ilmiah,atom-atom yang bergetar itu akan memperoleh efek dari benda bergetar lainnya,dalam hal ini : frekuensi dari gesekan biola lelaki itu, membuat otakku mengarang ekspresi sedih menurut versinya.

Lama-lama aku bisa menitikkan air mata kalau disini terus. Batinku meracau.
Seperti biasanya, sore ini aku mengunjungi lagi taman ini untuk mencari model foto. Apakah ada kupu-kupu atau kumbang yang sedang kasmaran sehingga menunjukkan warna terbaiknya sore ini? atau bunga-bungayang tersipu malu sehingga pigmennya dalam ketajaman warna maksimal? Ah siapa yang tahu? Meskipun masih lembab karena hujan tadi siang, semangatku tidak berkurang sedikitpun.

Di kursi panjang tanpa sandaran sana, aku melihat Lelaki Biola tengah asik bermesraan dengan biola coklatnya. Topi hitam yang dipakai terbalik dan kaos polos warna hijau. Celana jins dan crocs-nya terlihat serasi, biru dengan hitam.

Ia terlihat begitu larut. Sampai-sampai matanya pun terpejam. Sampai sebegitunyakah dia menikmati musik?Wah mungkin kalau aku sudah bisa memfoto dengan memejamkan mata, berarti aku sudah mencapai puncak tertingggi penghayatan seorang fotografer. Aku berargumen polos dalam hati.

“Hai Sarah..” tiba-tiba suara itu muncul dari arah belakangku. Suara ini terdengar berat. Laki-laki. Ya laki-laki. Aku membalikkan badan.

“Ehhai, juga, anggukku pelan” Ini jawabku. Darimanadia tahu namaku ya? Pertanyaan itulah yang muncul perdana dalam benakku.

Dia sepertinya tahu. “Perkenalkan saya Rudi. Saya sering melihat kamu moto-moto disini.  Kebetulan saya juga sering main kesini.”
“Ya Rudi. Saya Sarah"tanganku bergerak sendiri menaikkan kacamata serta merapikan rambut ke samping.

“Kelihatannyakamu kaget, saya tahu nama kamu dari blogwalking. Kebetulan lagi saya ini pembaca setia blog kamu. Dari sana saya banyak tahu tentang aktivitas fotografimu.

“O,ternyata ada juga ya yang baca blog itu ya?” Aku merendah. Padahal aku tahu, dalam sehari visitor blog yang penuh dengan foto-foto bunga dan serangga itu mencapai 100 pengunjung.

"Tentu.Kamu berbakat sekali"

“Terima kasih. By the way aku harus segera pulang Rud, sudah hampir magrib. Aku bergegas memasukkan kamera ke dalam tasku.

"Oiya tidak mengapa. Hati-hati."

“Rud, kamu jago sekali main biolanya, sampai matanya merem-merem. Lain kali aku mau kamu mainin satu lagu ya buatku.” Aku buru-buru pergi. Kalimat itu sebenarnya muncul tanpa perencanaan. Spontan melesat dari mulutku. Aku juga tidak sempat mendengar respons dari Rudi.

***

Langit kota Bandung malam ini cerah. Bintang-bintang kelihatan jelas karena tidak ada awan yang menghalangi. Cahaya bulan setengah purnama menambah uniknya konfigurasi angkasa malam. Seperti biasa, kusantap lagi apel hijau yang sudah disediakan Mama. Aku duduk di teras rumah. Bersama mac book dan kameraku. Udara tidak terlalu dingin makanya aku tidak memakai jaket, kaos ini sudah cukup.

Saatnya blogging time. Aku jadi ingat pertemuan dengan Rudi sore tadi. Pengakuannya bahwa ia yang sering mengunjungi blog-ku. Ah Cuma kebetulan pikirku. Kulanjutkan dengan memposting foto-foto. Tumben, malam ini aku mengepos kata-kata yang lebih dari satu paragraf, malam ini aku melakukannya. Aku curhat.



Aku merasakan ada yang aneh pada diriku. Aku seperti mengalami deja vu. Peristiwa di taman tadi sepertinya pernah aku alami sebelumnya. Tapi hal itu tidak begitu jelas. Hanya imajinasi ataukah apa? Aku tak mengerti. Aku tidak bisa memberi alasan logis. Yang jelas aku merasakan bahwa aku sudah akrab dengan Rudi. Padahal aku baru tahu namanya tadi. Mungkin ini yang namanya respons terlambat dari rangsang mata sehingga otak menafsirkannya kita sudah pernah mengalaminya sebelumnya. Entahlah.

Ngomong-ngomong, tadi aku kenapa grogi ya?

Gak biasanya. Eh, tadi kalo tidak salah aku request ke Rudi buat suatu saat 
bakal memainkan lagu itu buatku. Nah moga-moga aja Rudi gak sempat denger itu dengan jelas. Duh kalau pun dengar mudah--mudahan ia tidak mengubrisnya, Walah-weleh mana pula ada orang yang mau mendengarkan kata-kata spontan dan tidak berisi seperti itu. Huaaa...Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Terlalu banyak spekulasi dan ekspektasi dalam hatiku. 

Pikirku. Tetapi teriakku itu hanya bergema di hati saja. Tidak boleh mengganggu tetangga yang lain. Ibu juga sedang asik membaca majalah. Aku bisa mengejutkannya bila teriak malam- malam begini.
Esoknya aku memutuskan untuk tidak memoto ke taman itu lagi. Untuk apa pula terus-terusan ke sana?

Bukankah hidup harus move on bergerak? Kalau di taman yang itu saja nanti monoton dong foto-fotoku. Aku tekankan : ini tidak ada hubungannya dengan lelaki biola. Siapa bilang kalau aku sedang menghindarinya. Aku ingin suasana baru.

Sore itu kumulai petualangan memfoto yang baru. Aku memasang perlengkapan, payung biru tas beruang dan kamera. Awalnya aku berencana untuk berangkat ke pasar tradisional di daerah Kosambi. Bergabung dengan para ibu dan aa’ penjual sayur , ikan, dan pembeli yang memenuhi pasar itu.
Kusetop angkot putih. Tiga penumpang sudah ready disana. Dua diantaranya sepertinya mahasiswa arsitektur. Mereka khas dengan tabung-tabung yang selalu disandangnya itu. Tabung tempat kertas-kertas besar digulung. Aku tidak begitu bisa menjelaskannya pada kalian, maaf. Pokoknya nanti kalau kalian ke Bandung, kalian akan menjumpai pemuda-pemudi dengan tampilan begini. Satunya lagi adalah ibu-bu dengan tas keranjang yang lumayan besar. 

Mungkin ibu ini mau belanja di Kosambi. Asumsiku dalam hati.

Setelah aku naik, angkot perlahan melaju. Kecepatan angkot ini cukup lambat lebih lambat daripada saat aku mendayung sepeda ke kampus. Si sopir angkot ini sepertinya memberi kesempatan setiap orang untuk masuk. Ia tidak mau ada yang terlambat masuk angkotnya. Berbeda dengan dosen-dosenku di kampus. Mereka selalu melarang mahasiswa yang terlambat untuk mendapatkan ilmu di kelasnya. Parasopir angkot bahkan rela mundurkan angkotnya bila ada calon penumpang yang tertinggal. Analisa bodohku mungkin semakin tinggi pendidikan seseorang semakin disiplin ia. Ah tidak usah dibahas.

Angkot putih itu meluncur pelan melewati jalan Tamansari, belok kiri ke Cikapayang, belok kanan, lurus melewati Balubur Townsquare, kemudian dijebak lampu merah di kawasan jalan RE Martadinata.

Tidak sampai 5 menit angkot kembali melaju. Aku lupa beritahu kalian. Di Balubur ada 1 penumpang naik dan di Unisba ada 2. Mahasiswa semua menurutku. “Kiri” Salah seorang penumpang mengisyaratkan berhenti. Suara itu ? Bukankah Rudi? Wah kuat sekali ya ingatanku. Turunlah dua mahasiswa bertabung tadi. Ternyata Rudi dengan temannya. Gadis cantik berwajah anggun. Rambutnya lurus sebahu. Dibalik kacamata berframe beningnya mengintip mata yang sipit. Kulitnya putih, hidungnya mancung. Aku baru bisa mengamatinya dari dalam angkot ketika Rudi membayar ongkos. Pantesan tadi 

Rudi tidak menyapa aku.
Alamak, weleh-weleh kenapa aku jadi sewot begini ya?
Apa urusanku? Bukankah dia juga sempat senyum tadi begitu akan turun. Huh.

Pasar. Akan kubidik suasana terbaikmu dengan kamera ini.
Aku banyak mendapatkan foto unik disini. Aku keluar dari dunia bunga dan serangga. Beralih ke ibu-ibu yang tengah asik menyirami bayam dan kangkung. Bapak-bapak yang menyipratkan air ke ikan-ikan mereka di atas daun pisang. Nenek yang menimbang cabe keriting. Kakek  yang tertidur di atas becak, menunggu pelanggan.
Asiknya hari ini.
***
Begini sarah sejak aku tahu kalau kau pernah memfotoku di taman, aku jadi sering ngestalk kamu. Menyelinap ke profil facebook sampai blogmu. Aku ingin kita berkenalan lebih jauh. Saling memahami. Kemudian menerima kekurangan dan kelebihan masing masing.
Aku ingin kamu menjadi bagian dari cerita hidupku dan aku menjadi bagian dalam kisahmu. Aku ingin kau bersedia jadi pacarku.
Kubalas email Rudi.
Rud, maaf aku tidak bisa. Aku tidak bisa membagi perasaanku padamu. Aku takut payung dan kameraku ini cemburu akan kehadiranmu. Mungkin suatu saat kau bisa mengerti. Aku tidak bisa menjelaskan panjang-panjang. Maaf ya. Semoga kau menemukan yang lain yang tepat untuk menjadi bagian kisah hidup yang kau maksud itu.
Sesederhana ini lah aku memahami harga diri seorang perempuan. Menolak ajakan Rudi untuk berpacaran. (Sarah Calon Fotografer Profesional). Kutulis Quotes ini dalam blogku.