Demi Tuhan I

Kamis, Juli 25, 2013 0 Comments A+ a-

“Rim..! Rim..! Buka pintunya..! Rim.! Rim...! cepat Rim....ini aku!”
“Ya..ya sebentar” Aku beranjak banting badan menuju pintu, sumber suara gaduh yang mengganggu.

“Wah kurus kali kau sekarang Bro. Btw ada apa gerangan? Jangan kuat-kuat lah kau gebuk pintu ini. Sudah jam sepuluh malam. Mengganggu tetangga”. “ Panjang ceritanya Rim. Mau pinjam motor, boleh ‘kan? Kelaparan nih, sudah tiga hari nggak makan” “Kau jangan tiru-tiru akting pengemis kayak di sinetron itu lah. Di film-nya sok miskin. Wah aslinya, miliarder. Mobilnya banyak menyumbang polusi dan macet. Stop tipu-tipu Bro” Aku membeo logatnya. Maklum logat Batak yang terkenal dan gampang dikenal. “Wah siapa pulak yang tipu-tipu. Aku ini mengatakan makna sebenarnya Rim. Denotatif. Tiga hari belum makan. Nanti aku jelaskan. Sekarang mana kuncinya ? Mau beli makanan dulu”

Kurogoh saku celana. “Bensinnya sudah sakratul maut itu. Tolong kau selamatkan saja” sambil mengulurkan kunci Jupiter MX-ku. “Tenang Rim, nanti aku bawa ke klinik dokter Boyke dia. ” “Gak lucu Bro, isi pertamax-98 aja”. “Ah aman lah itu” jawabnya berdamai.


“Rim...! Rim..! buka pintunya!” pintu bur-bar lagi. Padahal belum sempat semenit Aku beranjak dari sana.
Huh bikin kesel nih anak. Gerutuku membatin. “Ada apa lagi ? Aku ini mau ngetik, tugasku ada yang dikumpulin besok pagi.” Nada bicaraku mulai bergeser ke frekuensi merah. Kesal.

“Ah, Maaf aku mengganggu. Tapi Kamu udah makan belum? Mau dibelikan apa?”
“Kirain mau minjam uang. Terserah aja deh, yang penting jangan nasi.” Rasa kesalku sedikit terobati karena tawarannya itu. Frekuensiku membiru. Tenang.

“Oh es i pe lah. “Gini aja Bro, daripada nanti kamu susah-susah teriak, gedar-gedor pintu, daripada menghabiskan energi buat bangunin tetangga sebelah serta memperpendek umur pintu ini.” “Stop daripada buang energi, langsung to the inti aja Rim.” “Huh iya. Bawa saja ini kunci rumah” “Yah gitu aja ngambek kau Rim. Selow lah nanti kau kubelikan martabak sama fruittea rasa apel kesukaan kau. Lapar kau tampaknya. Iya kan? Sekarang kerjakan saja tugasmu. Nanti sponsor ransum yang layak menyusul”. 
“Baiklah” Aku tersenyum. Frekuensiku ungu. Damai.

“Rim.....! Rim..aku dataaaang...!!”. Kali ini suara knocking-nya makin keras. Sepertinya dia itu sengaja ingin mempermainkanku. Huh dasar. Padahal aku sudah memberikannya kunci. Apa kuncinya hilang ya?. Memang ceroboh itu anak.
“Rim...Rim!!Buruan!” Dia menggedor lagi. Suaranya yang melengking itu menambah sumpek pikiranku. Mana tugas susah lagi, dikumpulin besok pagi, eh ada pula dia yang “mengganggu”, kalau bukan sahabat, sudah kusumbat telingaku dengan headset, bercinta dengan berkas-berkas word yang minta diselesaikan ini.

“Rim..!Rim....! Ayolah bukakan pintu..” Lambungku sudah tak tahan ini. Air liurku sudah meleleh dari tadi.

“Sabar Bro, aku lagi cari kunci cadangan. Memangnya kuncimu kemana? Tadi ‘kan sudah kukasih” Sahutku dari dalam kamar. Astaga, aku juga lupa dimana kunci lemari. Kunci pintu cadangan ada dalam lemari. Aku breath in dan breath out beberapa jenak. Sejurus aku kemudian membuka lemari yang sebenarnya tidak terkunci. Ketenangan memang memang sangat membantu menyelesaikan masalah. Setibanya dipintu, ceklek, ternyata sudah terbuka.

“Huh dari tadi kek” “Wah jangan marah dong Rim. Aku lupa tadi kalau kau kasih kunci. Manusiawi Rim, manusiawi. Jangan marah-marah lah nanti pembuluh darahmu bisa pecah, stroke nanti, kayak kakekku.. Kalem, kalem, ambil nafas, tarik dalam-dalam, lepaskan” Huh aku sudah lakukan itu tadi. Aku kemudian senyum. Menenangkan diri. Ada benarnya juga anak ini. Pikirku dalam hati. “Begini Rim.” “Yuk kita ngobrol dikamar aja. Biar asik” aku memotong.

“Kunci dulu pintunya!”. “Maaf hampir lupa. Hehe maklum, sekarang pikiran cuma tertuju ke sini”. Dia memonyongkan bibir ke arah bungkusan-bungkusan plastik yang dibawanya.
“Begini Rim. Aku ini ‘kan ikut resimen mahasiswa. Pelatihnya langsung dari TNI, tempatnya di hutan Rim. Wah berat Rim “ Maksudmu berat ?” “ Ya,berat, susah deh pokonya, melelahkan dan bikin kelaparan. Kami diajarkan survival, begitu kata panitia” “Di hutan bisa berburu Bro” “Cari daun yang bisa di sayur gitu”. “Wah gak semudah yang kau bayangkan Rim. Nih makan dulu.” ujarnya sambil membukai kantong-kantong plastik. Mau yang mana silahkan kauambil.  Ada martabak, ada nasi goreng, soto madura, sate padang, wafer tango, dan aneka roti” ” Wah banyak banget ini. Dalam rangka apa Bro? Disini cuma ada kita berdua. Apa habis ini? Nanti mubazir” “Ah tenang saja. Kau makan saja semampu kau. Nanti kalau bersisa aku akan menyelesaikannya. Balas dendam Rim, balas dendam. 

Berat badanku turun drastis ini.” Logat bataknya memang kental. Entah kenapa padahal sudah 2 tahun lebih hidup di bumi Parahyangan yang serbalembut ini.

“Oh begitu ya? Baiklah” Kuambil sepotong martabak manis. “Enak juga ya Bro, martabak ada pisangnya, ada kejunya juga diiris-iris” “Bukan cuma enak juga Rim, Enak kali...Hahaha”
Kami berdua tertawa lepas. Sate padang dan soto madura disantapnya bergantian. Lahap sekali. Begini rupanya orang yang kelaparan itu kalau sudah bertemu makanan. Ungkapku dalam hati

“Bhaghaimanya hubfhunganmu dhengahny Sfarah?”tanyanya dengan mulut masih penuh makanan. Aku terdiam tiga belas bahasa. Rasanya makanan yang sedang kukunyah ini berubah keras, mengganjal kerongkongan setelah mendengar nama itu. “Sebentar bro kita makan dulu saja” Aku mengalihkan topik. Membuat martabak rasa pisang ini lunak kembali. 

“Ya sudah aku cerita saja pelatihan survival itu. Jadi ceritanya ada salah seorang temanku bertemu dengan ular besar Rim, sebesar batang pinang.  Terus ada juga yang melihat serigala bermata merah, dan yang paling aneh itu kepala reguku mengaku melihat seorang noni cantik, bergaun seperti orang jaman Belanda dulu” “Benarkah? Kau melihatnya?” Aku pura-pura penasaran. 

Aku sebenarnya kurang percaya dengan ceritanya barusan ini. Iya sayangnya aku gak liat. Cuma diceritain juga” “So, kamu liatnya apa?” “Wah kalau aku sibuk cari jamur yang bisa dimakan Rim. Sibuk membuat api dan membuat penerangan. Jadi gak sempat lihat apa-apa. Paling juga sesekali lihat foto Sarah dalam dompetku. Hehe..bercanda bro, bercanda.” Jawabnya luwes “Hehe aku juga udah nyangka kamu bercanda Bro” Aku memaafkannya. Melarutkan diri dengan candaan-candaannya yang acap membuat jantungku memanas.

“Rim aku kentut dulu Ya. Gak enak kalau disini, mengganggu entropi” “Sana gak usah minta izin begitu, buruan daripada meledak disini.” Kulemparkan kunci pintu ke arahnya.

“Jadi saat korban keluar kamar, kau memasukkan racun ke dalam minumannya?” Pak Polisi menanyaiku di ruang interogasi. “Tidak Pak”, bantahku secepat kilat. “Waktunya mepet sekali, Pak. Lagipula, aku tidak punya racun di rumah”

“Jadi kapan ?” “Biarkan saja dia melanjutkan Tom” Kata polisi disebelahnya.

“Kemudian kami tertawa bersama. Dia bercerita banyak tentang pelatihan survivalnya. Tentang perjuangannya mencari makan dan mengerjakan tugas kelompoknya di hutan. Sebentar-sebentar dia menyinggung soal Sarah lagi lalu diiringi bercanda lagi. Begitu terus sampai beberapa kali. Aku saat itu muak bercampur kesal, Pak. Saat dia mau beli minuman lagi, saat itu pula aku membeli racun di toko pupuk di depan gang. Tidak sampai lima belas menit aku sudah kembali dirumah dan lima menit kemudian dia pun tiba.”

“Jadi kapan kau memasukkan racun itu?” “Sabar Tom sabar” Teman sebelah Pak polisi menenangkan.

“Tidak Pak. Demi Tuhan, aku tidak memasukkan racun. Rencana awalku memang begitu, tetapi demi Tuhan aku tidak jadi meracuninya.”

“Tetapi mengapa dia tewas keracunan? Mulutnya berbusa. Jangan berbelit. Ini hanya akan memberatkanmu.” Nada suaranya meninggi.

Aku terdiam. Kali ini empat belas bahasa.

“Besok akan keluar tes laboratorium. Apakah racun yang kau beli di toko pupuk itu ada dalam tubuhnya atau tidak. Jika kemudian terbukti ada. Kamu diancam hukuman 20 tahun penjara atas dakwaan pembunuhan berencana.”

“Demi Tuhan Pak, meskipun aku cemburu padanya, aku tidak membunuhnya. Demi Tuhan Pak, Demi Tuhan. Aku tidak membunuhnya” suaraku makin keras.

“Kita tunggu hasilnya besok.” “Sekarang kau ditahan dulu. Agar mudah dimintai keterangan sewaktu-waktu.” Pak Polisi memborgol kedua tanganku dan menggiring ke ruang tahanan.


“Ini Gun naskah gua buat lomba menulis cerpen. Anton mengulurkan print-an A4 yang masih panas ke hadapan Gun-gun. Menurut lu gimana?” Aing baca dulu ya ! Tiga menit berselang. Overall  bagus, lumayan unik. Tapi nasibnya teman Barim teh kumaha? Dia bunuh temannya gegara cemburu gitu? Gue nggak tahu juga sih Gun.