Ngigau 8

Minggu, Juli 14, 2013 0 Comments A+ a-

Kalau kau tidak datang aku akan menangis.


Manja sekali kedengarannya. Aku balas; Sebenarnya aku ingin melihatmu menangis. Dengan begitu, aku akan melihat ekspresi malaikat sedang meneteskan air mata. Tapi bagaimana pula aku akan melihatmu menangis, bila aku sendiri tidak berada disana? Menyalahi hukum alam bukan? Ibarat akan melihat mata berkedip secara realtime.
Baiklah aku akan datang dengan satu syarat. Kau mau menangis untukku?
Begitulah percakapan yang kudengar kurasa dan aku alami.
Aku sangat menyayanginya seperti mungkin stetoskop menyayangi detak jantung. Merindukannya seperti elektron yang selalu mengitari proton. Mencintainya sepert alveoli yang menyerapkan oksigen.
 
Begitulah kira-kira gambaran yang dapat kubuatkan. Sekarang tiba-tiba saja kau mau mengambilnya dariku. Apa sebenarnya maumu?
Bisakah kau sedikit saja berperasaan?

Kalau kau tidak datang aku akan menangis.
Maka menangislah aku dalam kesendirian ditengah keramaian. Hiruk pikuk orang-orang yang lalu lalang tidak terasa bagiku.

Kata-kata itu benar-benar menjadi kalimat yang menyedihkan dalam sejarah hidup. Hujan membasahi bumi dan airmata membasuh luka hati.
Terisak tak tertahan. Walau bagaimana pun aku tak pernah bisa berlaku adil kepada perasaan ku sendiri. Aku tak pernah bisa berlaku logis dalam perbuatan-perbuatan konyol ini.

Dalam khayalan-khayalan pribadi aku selalu mengharapkan adegan imajiku benar-benar nyata, eksis dalam dunia nyata. Namun nyatanya, yang nyata hanya aku yang menangis untuk melepaskan ekspresi kesedihan.
Apa sebenarnya terjadi sehingga benar-benar begini jadinya?
Apakah tidak boleh kutahu?
Apakah tidak boleh aku mengerti?

Kalau kau tidak datang aku akan menangis. Kalimat ini begitu menghunjam di rongga hatiku entah kenapa. Mungkin alam bawah sadarku pernah mendengarkan kalimat ini dalam sebuah cuplikan film, atau mataku pernah membacanya dalam cerita novel ataukah aku pernah mendengarkannya dalam sebuah percakapan.
Yang bisa kubayangkan adalah seorang gadis cantik. Dengan bibir mungilnya, dengan artikulasi manja membunyikan kalimat ini kepada seorang pria di dekatnya. Kemudian sepersekian menit sesudah itu, mukanya langsung cemberut. Akan tetapi wajahnya tetap anggun dan memesona.

Pipinya putih mulus seperti bakpau. Itu yang selalu ada dalam pikiranku. Mungkin sebenarnya ini hanyalah sebuah ilusi dimana aku terus mengharapkan ada seseorang yang kelak mengatakan ini padaku. Entahlah aku pun tidak mengerti apa yang seharusnya aku mengerti. Aku pun tidak bisa berpikir jernih tentang ini. Lebih baik aku mengeja saja apa sebenarnya yang kuinginkan sekarang. Apakah belaian lembut seorang kekasih ataukah sebuah tanggung jawab yang membebani pundak. Apa sebenarnya yang aku butuhkan dukungan dari seseorang yang kucintai atau perlombaan yang harus dimenangkan semuanya seperti berhubungan paralal sekaligus seri. Seri dalam paralel dan paralel dalam seri. Dalam rangkaian listrik ada suatu rangkaian yang tidak bisa disebut seri dan tidak bisa disebut paralel juga. Mungkin begitulah pikiran dan perasaan yang kurasakan sekarang.

Aku terus saja menuliskan harapan-harapan ku dalam diary itu. Mungkin suatu saat akan lahir keberanian untuk mengatakannya kepada subjek-subjek yang ditujukan. Supaya tidak lupa. Kutulis saja dahulu. Mungkin tidak sekarang. Tapi ya. Tulis sajalah dahulu
Waktu terus berlalu. Berat badanku bertambah dan cara pikirku pun berubah. Aku lebih banyak menikmati saja tanpa mengambil pusing kejadian-kejadian dalam hidupku. Aku benar-benar sedang belajar menerima keadaan. Tapi ada satu hal yang kurasakan masih saja seperti dulu dalam diriku. Perasaan rindu yang tak menentu, senang yang sesekali datang, suasana-suasana sedih itu juga yang acapkali menyengat saat terbayang kenangan-kenangan lalu.

Apakah sebenarnya yang terjadi padaku ?
Adakah nanti seorang yang akan membantu berpikir dan merasakan perasaan ini? Membaginya menjadi dua. Separuh untukku dan separuh untuknya ?
Kulminasinya : Adakah seseorang yang akan mau mendengarkan cerita-ceritaku, mengapresiasi khayal-khayalanku, dan yang terpeting agar aku tidak lagi kesepian seperti ini. Dan aku bisa minum kopi yang dibuatkan spesial untukku.
Suatu masa aku yakin akan datangnya hari-hari itu menghampiriku.
Suatu saat aku yakin akan ada manusia lain yang Tuhan utuskan untuk melengkapi seluruh kekuranganku. Tapi pertanyaanku muncul kemudian. Siapa ?

Apakah dia orang yang selama ini aku cintakan keberadaanya?
Aku rindukan senyumannya?
Dan aku gilakan kebaikannya?
Tak tahulah. Yang jelas ini masih. Kalau kau tidak datang aku akan menangis.
Tengah malam ini suhu bandung 20 derajat celcius. Hujan masih membungkus kosanku dan sekitarnya. Bulir hujan yang sepersepuluh detik menghantam seng seperti irama yang menjadi accompaniment lagu Right Here Waiting yang dinyanyikan Richard Marx dalam player AIMP-ku.

Disana, diseberang sana jauh pikiran mengelana. Mengatasi awan dan petir. Diantara bintang dan bumi. Ditengah bulan dan samudra pasifik. Disana letak jiwaku sedang berkaca kepada maknanya sendiri.

Apakah yang terjadi sehingga sedemikian konyolnya aku malam ini.

Untuk kedua kalinya Richard Marx mengulangi lagunya lagi. Seakan tahu apa yang sedang aku rasakan.

Suatu saat nanti. Mungkinkah ada orang yang simpati? Ataukah hanya celaan dan ejekan yang memburuku?

Biarlah biar saja. Kalau pun demikian adanya memang pantas. Karena sesuatu itu akan kembali padanya. Bila aku menuliskan ini pun akan kembali ke perasaan itu sendiri. 

Celaan dan ejekan adalah kembalian yang cukup untuk menghargai.

Apakah terlalu putus asa aku hari ini ? Tidak rasanya tidak. Jika putus asa, mungkin sudah kupotong urat nadi sedari tadi. Toh cutter ada di atas mejaku. Atau ya. Mungkin sudah putus asa dalam bentuk lain ; Kehilangan Harapan.  Saat kita sudah tidak punya harapan untuk hari esok. Maka putuslah asa. Matilah jiwa.
Sebentar untuk memastikan biar kutanyakan jiwaku yang sedang melayang diangkasa sana.

Sudah kutemukan jawabannya.
Aku hanya butuh waktu yang cukup untuk mengobati diri. Dari sakit-sakit yang menyeri dari migrain-migrain yang menyisi. Semoga secepatnya aku bisa sembuh kembali. Agar bisa kubuatkan cerita yang lebih indah daripada hari ini.

Selamat berobat.

Jika kail panjang sejengkal jangan laut hendak di duga
Bayang-bayang sepanjang badan
Katak hendak menjadi lembu
Bagai pungguk merindukan bulan

Adakah sebenarnya tulisan-tulisan saya akhir-akhir ini mengandung keoptimisan ? rasanya tidak.

Tulisan saya sepertinya lahir dari rahim kekecewaan dan keputusasaan. Saya pun tahu mengapa ini harus terjadi.

Yang saya inginkan saya tetap menulis. Apapun yang terjadi, pada pikiran dan perasaan saya.

Bila memang sudah takdirnya keputusasaan menjadi trending topic selama minggu ini. Berarti memang demikianlah adanya. Kalian bisa protes ke mana-mana atau hiraukan saja tulisan ini. Siapa tahu kalian bisa tertular penyakit saya. Selamatkan diri kalian masing-masing. Karena suatu saat kalian belum tentu akan merasakan seperti yang saya alami.