Pak Cik Bram eps 3

Sabtu, September 21, 2013 0 Comments A+ a-

Namaku Dan, Dani. Aku dilahirkan dua puluh empat tahun silam di desa Lubuk Gading. Nun jauh di pedalaman Sumatera. Jika kalian pernah ke Padang, maka kalian harus menempuh perjalanan 300 km atau sekitar 6 sampai 7 jam dengan bus ke tempatku. Desaku ini desa yang damai dan subur. Saking damai dan suburnya, para konglomerat dan orang berduit bisa punya kebun sawit hingga ribuan hektar disini. Desa kami tidak sempit tanahnya, tetapi masih belum luas pemikiran penduduknya. Bahkan Aburizal Bakrie yang sekarang mencalon jadi presiden RI itu punya perkebunan tidak kurang dari 15.000 hektare disini. Dulu pernah ada peristiwa yang mengganggu kedamaian disini. Pertikaian tanah ulayat. Beberapa tetua kampung menjual tanah ulayat itu kepada para tuan-tuan dari pulau seberang. Hampir terjadi pertumpahan darah. Namun orang pulau seberang sedemikian hebatnya melobi hingga akhirnya terjadi pertemuaan yang berakhir dengan kata ‘damai’.


Setelah kejadian seminggu lalu. Aku memutuskan untuk mengadu nasib ke Jepang. Mengapa Jepang? Karena memang aku sudah meng-apply dan diterima disana. Aku sudah mengirim proposal dari tiga bulan yang lalu.  Sudah keluar pengumumannya sebulan setelahnya. Tetapi aku berniat untuk membatalkannya karena alasan yang sangat indah. Menikah dengan Sarah.

Namun Tuhan punya kehendak lain. Aku terpaksa melanjutkan studiku di sana. Aku membatalkan rencana pembatalanku.

Kata orang-orang, artikel di internet, orang jepang itu punya budaya yang sangat luar biasa. Mereka terkenal dengan ketekunan dan keuletan. Dengan etos kerja dan kedisiplinan tinggi. Hal ini akan tentu sangat berbeda dengan desaku. Mereka lebih suka minum kopi di warung saat pagi hari. Baru setelah matahari mulai meninggi mereka berangkat kerja. Ke kebun dan ladang.

Pernah suatu hari aku mendengar percakapan beberapa orang tua saat dulu berangkat ke sekolah SMP. Bapak-bapak bersarung sedang membicarakan kejelakan Amien Rais dan Soeharto. Namun aku merasa lucu setelah puas mengupas tokoh-tokoh itu mereka berhutang atas segelas kopi yang mereka minum.

Aku harus berkonsultasi dulu dengan Pak Cik Bram. Sebab ia sudah lama tinggal di Jepang. Negeri matahari terbit sekaligus negeri sakura ini. Siapa tahu dia punya kenalan yang bisa aku temui begitu sedang rehat masa kuliah.

“Jangan sampai kau bernasib sama dengan Pak Cik mu ini Dan. Kalau memang cinta sejatimu itu di Nusantara ini. Mengapa kau harus ke Jepang? Pak Cik takut. Kau pergi untuk melarikan diri. Tidak baik begitu anak muda. Pertahankan, perjuangkan. Turuti kata hatimu.”

“Apa yang harus di perjuangkan Pak Cik apa yang harus dipertahankan? Bukankah Pak Cik pernah bilang kita semua pernah patah hati dan yang perlu kita lakukan adalah move on. Pak Cik bagaimana sih tidak konsisten begitu. Jelas-jelas dia sudah memberi undangan. Mau apa lagi. Saya sudah bulat akan kuliah lagi mengapa Pak Cik tidak support ? Malah menggoyahkan saya”.

“Bukan begitu maksud Pak Cik, Dan. Kalau kamu memang setulus hati, ingin ke sana silahkan. Pak Cik cuma bilang, jangan sampai kamu menjadikan itu sebagai pelampiasan. Pak Cik sudah merasakan bagaimana akibatnya.”
Pak Cik termenung mendengar kata-kataku. Aku merasa menyesal berkata dengan nada agak tinggi dan suara keras kepada Pak Cik. Tetapi itu aku lakukan dengan spontan.

“Tidak untuk cinta sejati”

Pak Cik kemudian pergi meninggalkanku.
Semalaman aku berpikir ulang apakah aku sebenarnya menjadikan pilihan ini sebagai pelampiasan atas pilihan Sarah atau tidak. Aku tidak bisa tidur. Muncul banyak sekali spekulasi dalam otakku. Muncul kenangan yang sebenarnya tidak mau kuingat, muncul janji-janji masa depan yang belum tentu ada wujudnya. Muncul pula pilihan bahwa aku tidak jadi ke Jepang. Wah aku sangat pusing. Aku tidak bisa menentukan apa sebenarnya yang kuinginkan. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku bahwa benar aku hanya ingin lari dari kenyataan melanjutkan studi ke jepang. Tetapi tidak masalah.