Ke jatinangor bersama Trio Makan

Rabu, Juni 25, 2014 0 Comments A+ a-

Hari itu bulan juni tanggal 20. Tahun 2014. Ditengah sibuknya timses capres saling hujat dan jualan kemasan, Aku Rozi dan Delfi yang suntuk di Bandung rencananya akan hijrah ke Jatinangor beberapa saat. Maka dari itu, yang berperan sebagai Rozi ketua genk segera mengajak kami untuk main-main ke nangor. Karena kami tidak keberatan, aku setuju dan delfi juga. Tapi waktu itu Delfi ini masih ada kuliah sampai jam 5 sore. Jadilah Aku dan Rozi menunggu dengan sabar. Waktu itu jam empat lebih tiga perempat kami berangkat ke kampus. Tujuannya menunggu saudara kami Delfi. Delfi kamu memang teman yang baik. Hari itu hari jumat. Hari yang baik.


Tidak berapa lama Delfi muncul dari sebalik kampus yang terkungkung dari masyarakat itu. Kami pun segera menunggu angkot DU. Dipati ukur. Kami akan naik angkot ini ke DU supaya bisa ketemu bus DAMRI dan naik sampai ke Jatinangor. Setiba di DU, Damri yang ditunggu tak kunjung datang. Kami bertiga langsung mengadakan rapat kecil atas usulku. Waktu itu aku yang paling berpengaruh, setidaknya menurutku sehingga aku menunjuk Rozi untuk menjadi komandan pasukan, sementara aku dan delfi jadi prajrit tempurnya. Setelah musyawarah dan mufakat diperolehlah sebuah keputusan bersama bahwa kami bertiga akan berjalan kaki ke balubur untuk naik arnes ke jatinangor. Segera kami laksanakan.

Di perjalanan kami membahas berbagai hal. Layaknya anak muda yang berpikiran kritis dengan kondisi keuangan yang sama. Mulai dari modernisme, post-modernisme, toko teh bertrand russel, teori evolusi, perbandingan sains dan alquran. Semua itu kami bahas tanpa mencapai kesimpulan. Aku sebagai pembicara utama juga sesekali bercanda kalau aku sedang serius.

Tidak berapa lama. Karena keasyikan ngobrol kami belum sampai juga di nangor. Tapi sudah kalau ke balubur. Rozi si komandan kemudian memesan tiga buah karcis atau tiket bus travel. Di arnes itu, keberangkatan ke nangos sekali seperempat jam. Nah kami pun lega. Karena tiket sudah di tangan Rozi. Dan asal kau tahu saja. Mbak atau teteh penjual tiketna itu cantik, manis dibalut jilbab hitam. Tapi aku tahu dia bukan milikku. Uang saja aku tak punya. Waktu itu aku dibayarkan oleh Delfi. Namun karena dia juga tidak punya. Kami solat magrib dulu waktu itu sudah masuk waktu magrib. Kami pun solat ke masjid. Aku berdoa supaya delfi mau membayarkan karcisku dan aku punya kemampuan membayarnya di suatu hari. 

Setelah salam. Ya setelah salam aku berdoa demikian. Setelah solat magrib kami bertiga, berdua maksudku, Aku dan Rozi menemani Delfi mengambil uang di atm bni dekat gedung rektorat. Kemudian ke arnes lagi di balubur.

Karena lapar, aku mengajak kedua kawan ini untuk beli gorengan di bawah jembatan pasopati yang hanya berjarak kira-kira 40 langkah dari situ. Semua setuju.

Pucuk dicinta, tak tiba-tiba. Gorengan sudah habis. Ya akhirnya kami makan roti di warung kecil sebelahnya. Setelah kenyang dan merasa kenyang, kami ke arnes lagi.

Pucuk dicinta, malang pun tiba. Bus kami yang akan kami tumpangi baru saja berangkat. Tapi tenang saja kata mbak cantik jilbab hitam itu. Seperempat jam lagi ada bus yang berangkat dan tiket kami tidak hangus, karena Rozi memang pandai menyimpan tiket. Meskipun dia bukan perokok aktif.

Jam tujuh waktu indonesia arnes. Kami dipersilahkan naik. Kami segera masuk mengambil kursi paling belakang, karena isinya tiga. Kami duduk manis semanis duduk gula dalam air panas.

Setelah satu jam lebih lima belas menit kami sampailah di tempat yang berbahagia. Jatinangor dengan segala isinya dan perempuannya. Kami mengadakan rapat kecil lagi atas usulku. keputusannya. Jalan kaki  ke Jatos Jatinangor Town Square.

Pucuk dicinta Hujan pun tiba. Kami tidak punya payung. Meski demikian aku langsung ingat kepad Profesor Sapardi Djoko Damono. Dia pernah buat puisi hujan bulan juni. Aku tak peduli hujan apa tapi aku merasa rintik rindu itu lenyap diserap akar akalku. Bukan pohon berbunga itu. Uhh. Berteduh, dan kami ketemu dua adik kelas. Kuwi dan Doyok. Mereka pun sungkem. Karena mungkin sudah lama tidak melakukannya. 

Kami berteduh di depan sebuah ruko yang sudah tutup. Aku segera mengeluarkan jaket hitak anti air ku. Kami rapat lagi, sampai kapan hujan ini ditunggu, apakah sampai selesai atau tidal. Tentu saja tidak kami membuat standar, waktu, ya waktu selalu jadi standar. Bagi orang yang punya waktu. Kalau sampai jam sepuluh hujan tidak juga berhenti, kita akan menerobosnya dan pergi ke Pondok bungsu, markas besar Ilham dan Fikri.

Itulah keputusan yang kami ambil. Alhamdulillah hujan akhirnya reda juga. Kami bergegas menuju Jatos karena aku dan delfi mau kencing disana.
Tidak sampai lama, kami sampai di jatos. Kami mencari toliet yang aktif. Setelah bertemu. Kami lepaskan kerinduan yang mendalam itu padanya.
Puas dengan toilet kami menuju Cia dan Nini. Mereka sudah menunggu sejak tadi. Mereka memang suka pada Rozi. Karena Rozi ini memang pantas untuk disukai. Dia penyayang, ramah, humoris, pandai bergaul sayangnya dia laki-laki. Seandainya dia perempuan tentu aku yakin Delfi sudah akan jadi pacarnya sejak dulu.

Setelah ngogobrol-ngblor. Kami  makan di udin ramen. Setelah makan kami minum dan kemudian ngobrol lagi. Tak disangka waktu itu Cia mewawancaraiku dia punya tugas kuliah tentang manusia ideal. Menurutku aku jauh dari ideal. Tapi katanya dia minta pandanganku tentan manusia ideal itu seperti apa sih? Aku jawab. Manusia yang tahu tujuannya dan dia bertanggung jawab. Singkat padat dan tidak kumengerti. Setelah puas dan mulai mengantuk kami bayar makanannya.

Berjalanlah kami menuju peraduan masing-masing. Aku, Delfi, dan Rozi ke pondok bungsu semenrara Cia dan Nini ke kosan mereka.

Sesampainya di markas. Kami disambut dengan dingin oleh Ilham dan Fikri karena memang waktu itu habis hujan. Tujuan ke Jatinangor sudah tercapai. Ya Silaturrahmi.

Malam bergulir. Piala Dunia pun demikian. Kami menontoni satu-satu pertandingan akbar ini. Spanyol bertekuk lutut di kaki Belanda 1-5. Kamerun 0-1 melawan Mexico. Chile menang lawan Australia. Ini aku tidak ikut nonton karena sudah tertidur.

Paginya kami mulai lapar. Fikri mengajak kami sarapan pagi. Kami setuju. Tapi ilham masih saja tidur. Katanya dia tidak terbiasa sarapan. Ketika aku mengajaknya. Fikri membawa kami ke sebuah Burjo, warung yang buka 24 jam. Ada banyak menu disana mulai dari segala jenis bubur sampai varian-varian indomie. Aku dan delfi pesan indomie goreng telor sementara fikri dan rozi bubur kacang ijo lengkap dengan ketannya. Setelah kenyang dan merasa kenyang, kami pulang ke pondok bungsu kembali.

Dino datang jam 9 pagi. Dia baru saja selesai nginap di sekretariat unit budaya minangkabau di Unpad. Kami pun ngobrol-ngobrol. Asik dan menarik. Kadang-kadang serius tapi seringkali lucu. Dino mengeluarkan banyolan-banyolan khasnya. Sehingga kami akan tertawa terbahak-bahak. Kemudian kami main PES 2013.

Tak terasa hari sudah siang. Sudah mulai lapar lagi perut ini. Setelah berdiskusi sebentar kami memutuskan akan makan.
Kami makan di rumah makan padang. Enak rasanya. Setelah kenyang dan merasa kenyang, kami ke kampus Unpad. Kebetulan sekali sedang ada acara kebudayaan oleh anak-anak Fikom, fakultas ilmu komunikasi. Kata kawan-kawanku ini di fakultas inilah banyak ditemukan spesies-spesies wanita yang cantik dan anggun. Namun justru tak ada yang cukup bernyali untuk nyari kenalan disini.

Semua kami mager di taman.

Setelah letih duduk-duduk. Kami pulang ke markas. Aku haus dan mengajak mereka minum jus. Ada yang mau ada yang tidak. Yang mau ikut aku minum jus yang tidak, ikut fikri ke pondok bungsu.

Aku minum jus alpukat, Delfi jus buah naga, Ilham jus mangga, Dino jus apel dan Rozi sup buah satunya lagi Razi minum jus mangga juga.
Setelah habis kami membayar masing-masing. Aku dibayarkan delfi.
Pulang ke markas. Bandung Delfi Kambing.


Fyi kami sempat rapat kecil lagi. Apakah akan menginap satu hari lagi di sini atau tidak. Setelah banyak pertimbangan, salah satunya celana dalam, kami memutuskan balik ke Bandung karena tujuan ke Jatinangor sebenarnya sudah tercapai.