Aku diculik Bang

Kamis, Juni 26, 2014 2 Comments A+ a-

Waktu itu aku masih kelas 2 SD. Aku dan kawan-kawanku Emir, Wanda, juga Diki punya rencana untuk mengerjai abangku. Saat jam istrahat, kami membicarakannya di kantin sekolah. Kami akan menguji abangku. Sebenarnya ide itu muncul dari kepalaku. Entah mengapa hari itu aku ingin mengetes seberapa sayang abangku pada adiknya ini. Emir, Wanda dan Diki setuju. Kebetulan hanya Diki lah diantara kami bertiga yang punya handphone.


Setelah bel berbunyi lagi. Kami bergegas menuju kelas. Aku sudah tidak sabar lagi menjalankan rencana ini. Aku sempat tidak fokus pada pelajaran Bahasa Indonesia Buk Suti karena selalu membayangkan akan seperti apa reaksi abangku bila rencana kami ini terwujud.

Tidak lama, bel berbunyi lagi. Ini artinya kami sudah boleh pulang dan akan menjalankan rencana. Waktu itu kami punya dua rencana. Rencana A dan B.
Aku, Emir, Wanda dan Diki sudah punya tugas masing-masing. Kami berjanji akan berkumpul di rumahku jam satu siang.

Sudah jam satu lewat lima. Diki belum juga datang. “ Diki mana ya?” tanyaku kepada Emir dan Wanda yang sejak tadi menyanyi melulu. “Lagi di jalan paling Win. Kau tahu kan dia kan memang anak yang manja.” “Apa hubungannya Mir?” balasku bertanya. “Ya siapa tahu dia susah minta ijin ke mamanya.” “ Iya” bela Wanda. “Biasanya memang dia itu agak susah pergi keluar main aapalagi bawa hp.”

“Maaf aku telat.” Dari kejauhan Diki berteriak dari dalam becak.

“Tadi becaknya lama. Nganter ibu-ibu dulu ke pasar mau belanja.” Diki memberi alasan keterlambatannya

“O.. baiklah” aku seolah menjadi bos yang memaafkan kesalahan anak buahnya. “Perlengkapan sudah lengkap Wan?” , tanya diki kepada Wanda. 

“Sudah. Aman” Wanda mengacungkan kedua jempolnya

“Tapi abangku belum pulang Dik. Biasanya sih jam segini sudah pulang.” “Kita tunggu saja Win”, kata Emir memberi saran.

Pucuk dicinta abangku pun tiba. Sepeda mustangnya terlihat kecapean membawa dirinya yang berseragam putih dongker itu.
Sesampai di teras rumah. “Bang kami mau ke sungai”, kataku minta ijin. Soalnya ayah masih belum pulang dari kebun. Ibu juga belum pulang sekolah. Maksudku ibu belum pulang dari mengajar di sekolah.

“Panas-panas begini ? Gak takut demam kalian?”. “Nggak bang nanti sebentar lagi juga udah nggak. Kan abang tahu kalau kami jalan ke sungai sekarang kan nyampenya gak sekarang. Nyampenya kira-kira setengah jam lagi. Aku rasa matahari udah gerak bang geser ke... ke”

“Kemana ayo ? “ potong Abang. “Menjauhi sungai Bang”, timpal Emir. 
“Menjauhi dzuhur dan mendekati ashar Bang”, sahut Wanda spontan.
“Iya benar Bang. Intinya sudah tidak seterik ini Bang”. “Baiklah tapi jangan lama-lama ya. Soalnya nanti kan kita mau sepedaaan.” “ Hore. Makasih Bang”

Kami tersenyum kecil. Kami segera berangkat menuju tujuan kami :  sungai batang air sikobo. Asal kau saja di kampungku sungai itu namanya batang air. Entah kenapa. Mungkin karena bentuknya seperti batang kalau dilihat dari atas. Si kobo itu artinya si kerbau. Di sungai ini memang banyak kerbau. Kerbau ini kerbau pedati yang tentu saja menarik pedati yang berisi pasir. Si pengembala akan memasukkan pasir ke pedati dari sungai dengan cangkul dan kerbau akan membawanya.

Di kampungku juga tidak ada toko bangunan atau material yang menjual pasir. Soalnya pasir sebenarnya gratis namun biaya kerbau dan pedatinya lah yang tidak. Aku masih ingat waktu itu 20 ribu satu pedati. Kalau sekarang  aku tidak tahu.

Selain itu mobil bus dan truk juga sering ke sini. Kalau bus hanya untuk sekedar dicuci oleh pemgemudinya sementara truk,  ya sama seperti pedati kerbau yang mengisi pasir. Namun kau tentu tahu truk muatannya lebih banyak.

“Eh lupa. Kita belum tahu nomor handphone abangmu Win”, kata Diki. “Iya ya? Kita balik saja yuk kataku. Ini inti rencana.” Aku menambahkan Semua kawan setuju kami akan balik untuk menanyakannya.

Untung saja abangku belum pergi main. “Bang nomor hape Abang berapa ya?”, tanyaku. “Buat apa?”, tanya Abang. “Nanti kalau ada kenapa-napa biar bisa dihubungi” jawabku.  “Mana pulpen dan kertasnya ?” . “Dicatat disini saja Bang !”. Diki menonjolkan HP Nokia 3315-nya.

085274723717.

“Ingat pulang sebelum Ashar ya” kata abangku. “Insyaallah Bang”
Setiba di sungai kami segera mandi-mandi. Berenang-renang diantara bebatuan dan pohon. Air sungainya masih bagus sejuk dan tidak berbau amis. Warnanya hijau kebiruan. Setelah puas, kami segera menjalankan rencana A.
Diki menekan nomor dan menelepon abangku. Terdengar suara abangku dari seberang menjawab. “Halo. Assalamualaikum”. Diki dengan gaya cemas dan akting khawatir  berkata ,” Gawat Bang, Gawat”. “Gawat apa? Tenang dulu. Tenang.”. “Gawat Bang Iwin hilang.” “Hilang maksudnya?” “Iya, ii i ya Bang. Tadi dia sama-sama mandi dengan kami tapi mungkin dia hanyut.”

Haha mulut Wanda terbuka dan aku segera menutupnya dengan tangan kananku.

“Sepertinya dia hanyut terbawa arus Bang. Terakhir kata Wanda dia melihat Iwin tadi berenang agak ke tengah di tempat lubuk yang dalam.

“Astaghfirullah Win. Mudah-mudahan kau baik-baik saja. Sekarang kalian tetap disana abang akan segera kesana.”

 Tuuut...tuut.tuuut. Telpon ditutup

HUAHAHAHAHA. Kami tertawa terbahak. Kami berhasil mengelabui abangku. 

Rencana A berhasil.

Tidak lama kemudian kami yang mengintip dari sebalik tebing melihat Abangku dan mustangnya sudah sampai. Cepat sekali pikirku. Ahaha. Dia kelihatan cemas sekali dan mungkin dia akan bingung karena dia tidak melihat Diki Emir dan Wanda disana. Abangku mengeluarkan handphone-nya.

Segera hp Diki berdering. Dengan sigap kusuruh Emir dan Wanda mengangkatnya. Dari sana terdengar Abangku berkata, “Halo Diki. Kalian dimana? Abang sudah sampai di sungai nih”

“HAHAHAHA...Anda kakaknya anak-anak ini ya.” Emir menirukan suara layaknya seorang penculik. “Tolong bang tolong”, teriakku dari belakang Emir. 

“Bang kami diculik penjahat.” tambahku meyakinkan.

“Adikmu dan teman-temannya sudah dalam genggaman kami jika kau mau adikmu kembali kau harus menebusnya dan ingat : Jangan coba-coba lapor polisi. HAHHA”. Kemudian Emir tidak tahan dengan suara berat yang dibuat-buatnya ia terbatuk- batuk. Dari seberang Abangku bertanya ,”Batuk Pak penculik?” dengan nada ketawa tertahan.

“Apa kau bilang kau jangan coba-coba mengannggap remeh kami. Ini karena rokok kami terlalu banyak nikotinnya. Kata Wanda seolah dia adalah seorang mafia. Beda kadarnya dengan rokok manusia biasa. Ini rokok khusus penculik.”

“Baiklah Pak. Apa yang harus saya lakukan?”

“Kau sediakan uang lima puluhribu rupiah dan letakkan diatas batu besar diujung sana kau lihatkan disebelah kananmu.”

“Nanti bisa melayang Pak ditiup angin”, balas Abangku. “Tolong bang tolong turuti saja perintahnya kalau tidak kami akan disiksa..” “Makanya kau pakai batu sebagai himpitannya agar tidak terbang. Dasar sudah kelas dua smp belum bisa mikir juga”, kata wanda.

“Apa kau bilang 50.000 rupiah? Kau pikir semurah itu harga adikku? Tidak. Kau salah. Dia lebih mahal daripada kau dan dunia semesta seisinya. Tuut..tuut...tuuut. Telepon ditutup.


2 comments

Write comments
Unknown
AUTHOR
27 Juni 2014 pukul 07.02 delete

keren keren keren gue suka nih... heheh

Reply
avatar
asra10
AUTHOR
27 Juni 2014 pukul 18.29 delete

thanks udah mau-maunya baca blog ini

Reply
avatar