Seri Iwan dan Keluarga Kebunnya #4 Monolog Tanah

Sabtu, Agustus 08, 2015 0 Comments A+ a-

Foto dari www.web.unbc.ca



Namaku tanah, aku tinggal dimana-mana. Rasanya aku bukanlah subjek yang punya tempat tinggal. justru akulah tempat tinggal itu sendiri : bagi seluruh makhluk yang masih berkesadaran maupun tidak. Meski tanah tidak berkesadaran, ia menjadi penopang atau penyangga juga. Biar segala makhluk itu tidak terjerumus ke dalam panasnya magma di dalam inti bumi. Rasanya aku adalah kehidupan itu sendiri. Dimana cacing dapat bersembunyi dan berkembang biak, tempat padi tumbuh,pohon tumbuh, manusia bikin rumah dan segala makhluk hidup.


Seiring dengan berkembangnya pikiran manusia. Dengan itu manusia mulai memikirkan cara baru dalam memanfaatkanku. Anehnya saat itu pula aku mulai kehilangan ‘dayaberi’-ku secara berangsur-angsur.  Misalnya saja, aku yang dulu gembur itu sekarang sudah berubah jadi tandus. Yang dulu dapat ditanami aneka tumbuhan sekarang sudah tidak. Maka kemudian manusia menyemen tanah itu dan mendirikan bangunan baru diatasnya. Dan dibukalah tanah baru dari hutan. Pohon-pohon ditebangi. Sebagai tanah baru untuk manusia.

Tanah seperti ngambek kepada manusia. Ada hubungan yang brengsek antara manusia dengan tanah. Makhluk tak berkesadaran mana yang mampu untuk mengambek?

Sekarang sudah hampir 20 ribu hektar hutan yang digunduli dan diberi tanaman baru : sawit yang meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Desa itu sekarang menjadi makmur. Setiap rumah sudah punya minimal satu pesawat TV, 1 sepeda motor, kebanyakan adalah hasil kebun sawit. Sudah banyak dan berbondong-bondong juga mereka mendaftarkan naik haji.
Selain itu, telepon genggam pun sudah seperti sendal jepit jumlahnya. Dia adalah kebutuhan tiap orang konon kabarnya di desa ini. Sepeda motor pun sudah hampir sama jumlahnya dengan orang.

Namun dibalik semua fenomena itu suasana, agak kurang bersahabat. Panas. Ya Panas terik yang lain menimpa desa. Mulai sulit air, di beberapa tempat.