Seri Iwan dan Keluarga Kebunnya #5 Monolog Air

Sabtu, Agustus 08, 2015 0 Comments A+ a-

Air



Foto dari www.dreamstime.com

Manusia membatasiku sebagai H2O. Tapi tenang saja itu hanya segelintir saja. Bagi mereka yang lain aku adalah sumber kehidupan. Dari kalangan itu juga mengatakan bahwa 90% tubuh mereka terdiri dari air. Bagi korban Tsunami di Aceh, Jepang, Srilanka dan negara yang pernah mengalami : aku adalah bencana. Bagi umat Islam yang akan melaksanakan kewajiban solat, aku adalah zat yang mensucikan. Bagi seorang pengelana di gurun pasir aku adalah pelepas dahaga. Bagi sebatang pohon di kebun itu : aku adalah kehidupan.


Aku diciptakan dengan bentuk paling netral di dunia ini. Aku murni. Aku bergerak. Aku selalu mencari tempat yang lebih rendah. Tidak ada gunanya bagiku mencari tempat yang lebih tinggi. Aku selalu ingin yang rendah. Kalau diam maka pengotor-pengotor itu akan mengendap ke dasarku.

Aku bisa berubah bentuk menjadi uap. Yang tentunya akan melayang-layang di udara. Kemudian menggumpal. Lalu berkumpul di angkasa. Menjadi awan hitam dan akan turun kembali ke bumi. Hujan. Begitu manusia menamainya.

Awalnya aku ini bersih dan murni namun setelah beberapa saat umur bumi. Aku mengalami pencampuran. Entah itu dari polusi rumah tangga ataupun limbah pabrik. Detergen, sampah plastik, logam berat, limbah cair yang berbahaya, membuat keadaanku tidak sebagus dulu lagi.
Sekarang manusia bisa mendapatkan uang dariku. Itulah air minum kemasan yang diambil dari pegunungan kemudian dimasukkan dalam botol plastik dan dijual.

Dahulu warnaku masih bening. Aku mengalir dari pegunungan. Gunung bendera, melalui sungai-sungai dan anak-anaknya. Melewati batu-batu, goa dan melaju menuju muara di perairan air bangis(Laut). Di tengah perjalanan aku bertemu dengan banyak desa, banyak tingkah dan perilaku. Dari mulai kampung yang sunyi, yang memanfaatkanku untuk mencuci, memandikan kerbau, sampai dengan pembuatan tambak-tambak ikan. Kemudian tempat dimana kerbau yang besar dan tebuat dari besi itu dicuci. Mobil bus dan truk. Lalu penambangan pasir yang dilakukan oleh para pemilik pedati itu. Yang ditarik oleh kerbau asli dan juga kerbau besi.

Tidak sedikit yang menjadikan jalanku ini sebagai tempat pembuangan sampah. Mulai dari sampah rumah tangga, sampai dengan sisa kain jahit, sisa kardus dan stirofoam elektronik, plastik dan kemasan dari sampah pasar sampai bangkai binatang yang mati. Aku seolah menjadi kurir sampah yang tidak diberikan tujuan alamatnya kemana. Yang jelas dibuang padaku.

Setelah hampir dua puluh tahun menjalani kehidupan. Sekarang aku merasakan perubahan yang nyata. Jumlah kami mulai sedikit. Tinggal separuh. Sungai yang dulunya kami airi tinggal sebelah saja. Makin dangkal juga. Warna kami pun tidak bening lagi. Keruh. Dan sedikit berbau amis. Tidak sedikit sampah yang menempel  pada dasar-dasar jalan kami : sungai.