Catatan Masa Libur di Kampung # Budaya

Minggu, Agustus 09, 2015 0 Comments A+ a-

Kondisi Budaya

Mendengar budaya tentu langsung kita teringat dengan frasa gotong royong atau ramah tamah, atau suka senyum. Itulah yang sudah lama melekat dalam pribadi bangsa kita : Indonesia. Namun dewasa kini sudah ada term baru : korupsi. Indonesia kita sekarang dianggap punya budaya baru. Dan ironisnya budaya ini buruk. Budaya sebagai hasil akal budi manusia Indonesia. Mungkinkah buruk?



Mulai dari pejabat politik, PNS, pedagang pun korupsi. Saya sedang tidak ingin membahas itu kali ini. 

Hari ini hari Rabu. Hari pertama anak-anak sekolah lagi sehabis libur lebaran. Setiap anak sekolah yang ingin, berangkat dari rumah masing-masing. Uh betapa indahnya sekolah. Berteman dengan teman-teman, berkawan dengan kawan-kawan, bersama  bersama-sama, mengenal dunia, menjelajah dunia. Menuntut ilmu sebagai perintah agama, supaya makmur dan damai bumi.

Tetapi mengapa setelah lulus sekolah justru membuat kita bingung ingin mau apa. Apa guna sekolah kalau begitu. Apa skill dan keterampilan  yang sudah diperoleh sehingga hidup bertambah kualitasnya dan makin bermanfaat bagi sesama.

Kini aku sedang jauh dari Bandung. Kota besar yang pernah jadi lautan api zaman dulu. Pernah jadi lautan sampah beberapa waktu lalu dan menjadi lautan taman sekarang. Sekarang aku lagi ada di atas ayunan depan rumahku. Sumatera. Ayunan itulah yang terikat pada sebatang jambu dan sebatang pohon kakao. Cuaca yang panas tidak mengenai badanku, sebab terlindung dedaunan jambu yang lebat itu. Sesekali burung pipit dan gereja mencicit diatas pohon mangga tetangga. Angin pun berembus membuat diriku manja. Dan menuliskan suasana.

Di depan jalan beberapa sepeda motor lewat. Jalan itu adalah jalan gang yang berbatu. Dan ada parit kering di kedua sampingnya. Musim kemarau.

Listrik padam, makanya aku tidak bisa browsing. Sudah hampir dua minggu tulisan-tulisanku yang resensi dan monolog itu tidak ku-edit. Intinya belum bisa kuselesaikan. Belum fokus. Baca buku pun sekarang sudah jarang. Ah tidak apa. Bukankah melihat alam dan sesekali merenungkannya setara atau bahkan lebih dari membaca buku?

Pohon. Aku mulai mengamati dia sejak pulang kampung kemarin. Aku ingat puisi Harris tentang pohon.

Puisi Harris

Aku tak mau bicara tentang pohon
Apa daya ia lekat dengan memohon
Jadilah pohon bila ingin menjadi sejati
Sebab ia mengambil dengan memberi
Bila aku memohon kehidupan padamu
Rela kau berikan sedikit sisa nafasmu?

http://phusiz.tumblr.com/post/119951387301/pohon

Paling lama akhir bulan ini aku mau selesaikan resensi dan monolog itu.