[Resensi Buku] Ekofenomenologi : Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam

Sabtu, Agustus 08, 2015 0 Comments A+ a-

Judul : Ekofenomenologi : Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam
Penulis : Saras Dewi
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : I, Maret 2015
Ukuran : xiv+ 172hlm, 14 x 20,3 cm
Harga : Rp35.000,00

Saras Dewi menawarkan semacam pisau untuk mengupas disekuilibrium relasi manusia dan alam. Itulah yang ia sodorkan dalam buku ini. Pisau itu tempa dan asah dengan beberapa alat. Beberapa diantaranya yaitu : Fenomenologi Husserl, relasi subjek-objek Merlau Ponty, dan Konsep Heideggerian.

Saras membedah persoalan ini dengan ontologis dengan alasan kaum etikus lingkungan tidak sanggup mencapai akar permasalahan pokok.  Selain itu dia juga mengutip Kohak untuk menunjang teori-teori tentang ekologi.


Buku yang berjenis filsafat ini memberikan analisis yang radikal terhadap relasi manusia dengan alam.
Buku ini ingin membuktikan bahwa perenungan filosofis penting dalam mengatasi masalah kontemporer. Anggapan masyarakat bahwa sains dengan segala kepraktisannya dapat menjawab segala soal dan petunjuk hidup benar. Akar permasalahan perlu dicerabut dengan refleksi filosofis ini.

Buku ini menggunakan metode fenomenologi lingkungan. Eco yang berarti rumah, tempat bernang, tempat tinggal dan fenomenologi, metode filsafat yang mengkaji fenomena serta relasi antara subjek dan objek. Fenomenologi lingkungan berarti bagaimana memahami ekosistem sebagai fenomena, bukan objek yang terlepas dari subjek, tetapi fenomena yang mensyaratkan adanya intensionalitas.

Karena etika lingkungan masih terbentur pada tema tentang aturan, kebiasaan, serta anggapan baik ataupun buruk menyangkut alam. Tetapi etika lingkungan tidak membahas hingga persoalan relasi, khususnya relasi ontologis diantara manusia dan alam.
Pemikiran Aldo Leopold tentang etika lingkungan menunjukkan sesatnya cara berpikir antroposentrik.

Disekulibrium ini terjadi karena manusia gagal memahami substansi relasi dirinya dengan alam. Heiddegger menjelaskan manusia tidak hanya hidup selintas lalu di dalam dunianya. Tetapi ia harus  menjadi pemukim yang hidup harmonis dan damai dengan alam.

Bagian awal buku cukup menarik. Kisah tentang sebuah pohon yang benar-benar dialami penulis menjadi titik tolak pemikiran penulis dalam membahas ekologi. Kemudian diluaskan kepada pandangan terhadap fenomena yang terjadi kini. Seperti relokasi telok Benoa bali, Pembangunan pabrik semen di rembang.

Pada bagian penutup juga diberikan semacam rangkuman dari seluruh ide yang ada pada buku.
Namun demikian, beberapa bagian dirasa ada indikasi banjir informasi. Hal itu dapat menyebabkan pemahaman terhadap isi buku memerlukan pembacaan yang tidak sebentar. Dengan dicantumkannya beberapa referensi terlihat juga bahwa penulis dalam menyusun buku ini tidak sembarangan.

Kemudian pembaca merasa ada pengambangan wacana pada bagian tengah. Memang barangkali pada saat pembahasan fenomenologi demikian adanya. Tentang subjek dan objek dibahas terlalu panjang dan kalimat yang banyak bersayap.

Sebagai buku filsafat buku ini cukup memberikan pemahaman yang utuh tentang tinjauan disekulibrium relasi manusia dengan alam. Akan lebih bagus lagi bila bagian tema teknologi dibuat babnya tersendiri, sehingga lebih klop lagi.

Kemudian pembaca merasa perlu untuk dibuatkan glosarium.
Selain itu memang buku ini tidak terlalu menekankan sikap dalam solusi permasalahan disekuilibrium tersebut. Idenya hanya untuk menawarkan metode penelusuran akar dan titik temu masalah. Meskipun ada sedikit pandangan saras dewi tentang solusi ini pada bagian akhir.